Buku ini ditemukan secara tak sengaja. Ceritanya, kami mengadakan rapat kenaikan kelas di ruang kelas 7.3, dan saya sibuk mengurus nilai di notebook hingga 44 menit kemudian baru saya sadar ternyata di laci meja depan saya ada sebuah buku menarik milik siswa.
Dua Belas Pasang Mata oleh Sakae Tsuboi. Saya belum pernah mendengar nama ini sebelumnya, juga judul bukunya (lebih baik mengaku jujur daripada sok😜😅). Pertama kali melihat sampulnya, saya langsung berpikir sepertinya buku ini bagus (karena ada gambar anak-anaknya😅). Segera saya baca catatan di sampul belakang. Astaga, tentang guru, dan guru baru pula, mengajar di sebuah desa nelayan yang miskin. Segera tanpa menunggu lama saya bilang ke wali kelas ruang tersebut untuk meminjam. Demikian buku ini sudah dua hari di tangan saya. Jelas hari Senin ini mesti dikembalikan. Namun sebelum itu, perlu ia dipahatkan di blog ini😎😄
Buku Dua Belas Pasang Mata oleh Sakae Tsuboi ini terbagi menjadi 10 bab. Saya ngebut membacanya dari semalam–Jumat malam–sepulang PA hingga siang tadi–Sabtu siang–sudah selesai. Bagian awal cerita ini sungguh membuat saya tertawa sendiri di tengah malam. Bagaimana tidak, kisah ini mengingatkan saya akan masa kecil ketika baru masuk sekolah dulu juga bagaimana pengalaman ketika baru pertama kali menjadi guru😅.
Kisah ini dibuka dengan penggambaran latar desa tanjung di mana sang ibu guru, Miss Oishi akan mengabdi untuk tahun pertamanya. Waktu itu tahun 1928, dua bulan setelah pemilu, dan tempatnya adalah di desa yang mana penduduknya hanya sedikit orang dan kebanyakan bermata-pencaharian sebagai nelayan dan petani meski beberapa di antaranya ada yang menjadi tukang kayu, pesuruh/pengantar barang (seperti tukang pos di zaman sekarang), pedagang beras, atau pemilik restoran di kota.
Berhubung desa itu sangat terpencil, maka sekolah di sana diadakan hanya untuk anak-anak usia SD kelas 1-4, maka itu ia disebut sekolah cabang, dengan hanya dua guru untuk menangani empat kelas tersebut. Barulah nanti di tahun ke-5 atau mulai kelas 5, anak-anak desa tanjung mau tak mau harus pergi melanjutkan ke sekolah desa utama yang jaraknya 5 km perjalanan. Tidak ada kendaraan saat itu sehingga mereka harus menempuhnya dengan sandal jerami buatan tangan mereka sendiri yang pastinya rusak setiap hari, tetapi mereka justru bangga karena mengenakan sandal baru setiap hari.
Membaca ini saya jadi teringat dengan cerita orang tua saya (khususnya bapak dan saudara dan kawan-kawan sebayanya). Di masa mereka (kalau Jepang di kisah ini berlatar tahun 1928, maka bapak beserta saudara dan kawan2nya itu berlatar daerah selatan Amarasi di pulau Timor-NTT tahun 1960-an. Btw, kebetulan keduanya sama-sama di daerah pantai dan ada tanjung, kalau di Amarasi namanya Tanjung Pe’o, serta mata pencaharian penduduknya adalah bertani dan mencari ikan. Bapak dan semua mereka yang bersekolah harus menempuh perjalanan 8-10 km berjalan kaki. Masih bagus di Jepang jalan mereka rata, di kampung lama bapak letaknya di lembah, sementara sekolahnya berada di dataran tinggi, sehingga mau tak mau selama perjalanan pagi-pagi buta itu mereka hanya mendaki, mendaki, dan terus mendaki. Perjalanan baru terasa ringan ketika pulang sekolah karena jalanan selalu menurun. Jangankan di zaman bapak. Semasa SMP pun, saya dan kawan-kawan seangkatan masih sempat merasakan bagaimana pagi-pagi harus berjalan kaki dengan mendaki sejauh 4 km ke sekolah dengan tak boleh lupa membawa satu botol air untuk diisi di kamar mandi dan toilet sekolah. Beberapa kawan saya yang dari desa tetangga (Desa Sahraen namanya), mereka tentu lebih jauh lagi jaraknya, kira-kira 8-10-an km. Mereka juga berjalan kaki. Untungnya kami di masa itu adalah karena kami banyak jumlahnya sehingga jalannya pun beramai-ramai. Kalau dikira-kira mungkin jumlah kami lebih dari 100 untuk tiga angkatan (kelas 1, 2, dan 3), apalagi SMP itu satu-satunya SMP negeri dan punya 4 rombel untuk tiap angkatan. Meski perjalanan kami menuju sekolah melewati kebun dan ladang orang yang mana tidak ada rumah, tidak ada di antara kami yang takut melewati tempat tersebut karena banyak mobil, bus, truk, dan sepeda motor sesekali lewat. Bedanya adalah kalau anak-anak di Jepang kala itu masih menggunakan sandal jerami ke sekolah, kami setidaknya di awal tahun tahun 2000-an kala itu sudah menggunakan sepatu, meski sepatu kami hampir tiap dua-tiga bulan ganti karena selalu berlubang di bagian dasarnya😅.
Astaga, sepertinya saya sudah latah menggali kisah lama saya dan lupa dengan buku yang mestinya saya ceritakan di sini.
Baiklah, mari kembali ke topik awal😉.
Meski perjalanan dari desa tanjung menuju sekolah itu jauh namun mereka selalu bersemangat setiap pagi. Di tahun-tahun pergantian guru, mereka selalu penasaran seperti apa tampakan guru baru yang akan mengajar di sekolah baru tersebut. Niat mereka mau mengusili sang guru baru sangat lucu. Percakapan-percakapan mereka persis digambarkan sebagaimana layaknya percakapan anak-anak sekolah di kampung (karena saya pernah menjadi anak sekolah di kampung dan saya tahu persis itu benar adanya😜😅). Bagaimana keluguan dan kekolotan mereka saat terbengong-bengong karena berniat mengerjai sang guru baru, justru mereka yang dikerjai balik. Sang guru muncul dengan sepeda dan meluncur cepat melewati mereka setelah mengucap salam kemudian segera menghilang tanpa mereka duga.
Tidak hanya membuat anak-anak yang baru masuk sekolah desa utama bengong, namun penduduk desa tanjung pun menjadi heboh sendiri karena selain bersepeda, sang ibu guru pun berpakaian gaya barat. Katanya ibu guru kali ini kelewat modern😅.
Di kelas satu sekolah cabang, Ibu Guru bertemu dengan 12 murid. Ke-12 anak inilah yang kemudian membentuk cerita dalam kehidupan sang ibu guru hingga 20-an tahun ke depannya.
Sepertinya saya terlalu banyak bercuap-cuap tentang bagian awal cerita ini tanpa pernah sampai ke inti cerita? Memang😅😄. Karena saya begitu menikmati bagian awal ceritanya sampai rasanya tak mau beranjak.
Kalau di bab pertama tentang perkenalan, maka di bab dua tentang adanya badai yang melanda desa tanjung, lalu kecelakaan yang menimpa Ibu Guru. Dari kecelakaan itu, di bab tiga Ibu Guru mulai tidak masuk sekolah. Dari sepuluh hari, lalu setengah bulan, Ibu Guru tak datang-datang. Anak-anak muridnya setiap hari bergerombol di samping sepedanya yang tersandar dengan berdebu di tembok depan ruang guru. Bapak Guru menjadi satu-satunya yang mengajar di sekolah dengan empat kelas tersebut. Pelajaran lain tidak masalah, kecuali musik. Bapak Guru bergumul betul setiap menjelang hari Sabtu, semacam ada ketegangan tersendiri untuk jam pelajaran ke-3 itu (saya tahu persis ini perasaan😅😂). Pergumulan ini memaksanya untuk berlatih bermain organ dibantu istrinya, meski kelak ia bisa namun tak selincah Ibu Guru.
Anak-anak murid meski merasa senang dengan perkembangan Bapak Guru mereka tetap kurang puas. Kerinduan mereka akan Ibu guru semakin tak tertahankan. Suatu hari di perjalanan sepulang sekolah, mereka berdiskusi untuk mengunjungi Ibu Guru di rumahnya. Rumah Ibu Guru letaknya di Desa Pohon Pinus, berjarak 8 km dari desa mereka. Berhubung di antara mereka belum ada yang berpengalaman dalam berjalan kaki, anak2 kelas satu itu pun tidak bisa membayangkan dengan baik seberapa jauh sebenarnya jarak tersebut. Karena hanya Nita (salah satu murid laki-laki paling ribut dan beringus di kelas) satu-satunya yang pernah pergi ke kota dengan menumpang bus melewati Desa Pohon Pinus, ialah yang kemudian dikerubungi. Untuk lebih merasakan suasana percakapan mereka, berikut halaman buku yang sempat difoto (semoga saya tak dituduh melanggar hak cipta😟).
Mereka sudah mencapai kesepakatan akan berangkat ke rumah Ibu Guru. Hanya Sanae dan Kotoe yang tidak bersuara. Sanae memang pendiam, sebaliknya Kotoe masih bingung. Ia anak sulung dengan empat adik perempuan dan laki-laki. Sejak usia tiga tahun, ialah yang disuruh mengasuh adik2nya setiap pulang sekolah. Kalau ia pergi tentu nenek dan ibunya tak mengizinkan. Maka diputuskan, semua mereka akan pergi diam-diam tanpa memberitahukan keluarga. Mereka hanya akan pergi untuk makan siang kemudian akan mengendap diam-diam meninggalkan rumah. Semua temannya melakukan itu, sempat makan siang dan diam-diam mengendap keluar. Kotoe malah sepeninggalan temannya, ia menyembunyikan tasnya di rerumputan dan menunggu teman-temannya yang pergi makan siang kembali. Benar, hanya beberapa menit kemudian satu per satu anak muncul. Di antara mereka hanya Nita yang cukup cerdik untuk mengisi penuh saku2 baju dan celananya dengan kacang buncis kering untuk dibagika2kan kepada kawan2nya. Ke-12 anak kelas 1 SD cabang itu pun berangkat ke Desa Pohon Pinus sambil mengunyah kacang dan bercakap2 mengenai keadaan gurunya.
Perjalanan ini adalah pengalaman pertama kali mereka berjalan kaki sendirian. Mereka sangat menikmatinya dan tidak merasa bosan karena banyak pemandangan baru yang mereka temui.
Kesenangan itu tiba-tiba berubah menjadi kecemasan, sebab tampak dari jauh serombongan anak sekolah yang lebih tua, para murid sekolah utama yang baru pulang. Mereka saling pandang dengan waswas karena takut ketahuan.
“Sembunyi! Sembunyi!” Seruan Masuno membuat ke-11 anak lainnya lari ke tengah gerumbulan rumput pampa yang tak jauh dari situ. Gerakan mereka selincah monyet. Rumput-rumput bergemerisik dengan hebatnya.
“Diam! Jangan bersuara!” Masuno berkata sambil menekuk bibirnya yang tipis dan memelototi teman-temannya dengan kedua matanya yang panjang dan menjungkit itu. Bahkan Takaechi dan Tadashi (Masuno itu perempuan sementara Takaechi dan Tadashi ini laki2 lho ya😜–anice) langsung diam dan tak berani bergerak. Gerumbulan rumput pampa, yang hampir dua kali tinggi anak2 itu, bergemerisik sedikit akibat ke-12 anak di dalamnya. Untunglah, berkat kecerdikan Masuno, keberadaan mereka tidak ketahuan oleh murid-murid yang lewat itu. Masuno bisa membuat teman-teman sekelasnya menurut seperti anak kucing, cukup dengan dipelototi.
Mereka meneruskan perjalanan. Meski mulai meragukan penjelasan Nita bahwa jarak itu dekat, mereka tetap maju selangkah demi selangkah. Satu per satu sandal jerami yang dipakai mulai rusak. Tak ada yang punya uang jadi tak mungkin membeli sandal baru.
Sebenarnya tinggal satu belokan lagi mereka sudah bisa melihat pohon pinus, hanya mereka tidak tahu. Tiba-tiba Kotoe mulai menangis. Mungkin karena belum makan siang sehingga ia lebih dulu lelah dibanding kawan2nya. Dia berjongkok di pinggir jalan dan menangis keras2. Misako dan Fujiko jadi ikut terisak2. Anak2 lainnya berhenti dan memandangi anak2 perempuan yang menangis itu. Mereka sendiri ingin menangis dan tak tahu mesti mengatakan apa untuk menghibur mereka yang menangis. Harusnya ada seseorang yang mengusulkan, “Ayo, kita pulang!” tetapi tak ada satu pun yang sanggup berkata begitu.
Beberapa lama berdiri dalam keadaan seperti itu sampai mereka tak tahan lagi dan ingin pulang. Tanpa sadar mereka berdiri menghadap ke arah mereka datang. Sekonyong-konyong muncul sebuah bus dengan membunyikan klaksonnya. Tak disangka di dalam bus itu ada Ibu Guru. Demikianlah Ibu Guru itu melihat mereka, turun, dan membawa mereka ke rumahnya untuk dijamu makan. Di sanalah mereka bercengkrama dan melepas kangen hingga sore hari, barulah kemudian mereka diantar pulang Ibu Guru dengan perahu.
Ke-12 anak itu tidak tahu bagaimana orang tua dan seisi kampung sempat heboh sejak siang tadi karena ketidakmunculan mereka sejak sehabis makan siang. Beberapa bapak dan pemuda sampai diutus ke kota untuk mencari mereka namun tak menemukan hasil. Dan barulah di maghrib itu mereka muncul dari arah pantai. Tiada seorang pun yang menduga sebelumnya bahwa mereka pergi mengunjungi Ibu Guru di Desa Pohon Pinus.
Mengenai cerita kunjungan anak-anak dan sampai ada yang menangis, saya pun punya pengalaman serupa:D. Tiga tahun lalu ketika saya menjadi wali kelas 7.1, suatu hari saya sakit sehingga izin tidak ke sekolah. Saya tak tahu-menahu hingga besoknya di sekolah baru saya mendapat cerita dari anak2 wali saya. Ternyata, kemarin ketika saya tidak masuk, beberapa anak laki-laki dan perempuan bersepakat mengunjungi saya. Mereka mendengar kalau tempat kos saya letaknya tak jauh dari sekolah, tepat berhadapan dengan satu SD negeri. Mereka hanya perlu keluar dari gerbang sekolah, mengambil jalan sebelah kanan, lalu berbelok kanan lagi untuk menuju ke sebuah SD yang ada di belakang SMP. Mereka dengan PD dan riang gembira berjalan. Setibanya mereka di SD yang dimaksud, ada satu tulisan di ujung pagar tembok SD, “Stop! Di sini jalan buntu!” Melihat kalimat itu, serta merta mereka merasa takut. Mereka pikir mereka tersesat. Waktu itu pukul tiga sore dan keadaan sekitar sementara sepi. Ada yang langsung bilang ingin pulang, ada yang tetap mau meneruskan kegiatan berkunjung. Mereka sempat panas menimbang begini-begitu. Sampai ternyata ada yang menangis. Dan yang menangis itu adalah anak laki-laki paling ribut dan paling banyak ditegur guru di kelas. Karena ada yang menangis itulah kemudian mereka tak lagi melanjutkan niat mereka berkunjung. Mereka pun pulang. Padahal kalau mereka tahu, pada saat mereka berdiri dan menimbang-nimbang pulang atau lanjut, sebenarnya itu tepat di depan pagar tempat saya kos😄.
Nah, catatan ini sudah demikian panjang sementara yang saya komentari baru sampai di bab tiga. Sudahlah, tak apa. Toh, ini tiga bab emas dari buku ini menurut saya. Bab-bab selanjutnya bagi saya tidaklah semenarik tiga bab pertama, jadinya akan saya singgung sedikit saja (istilahnya ‘lari2’).
Bab empat tentang perpisahan. Berhubung kaki Ibu Guru belum benar2 pulih sehingga tidak memungkinkan kembali mengajar di desa tanjung, maka Ibu Guru pun pergi pamit. Ibu Guru dipindahkan ke sekolah desa utama. Bab lima dan enam menceritakan empat tahun kemudian, ketika anak2 kelas satu dulu sekarang sudah masuk kelas 5 dan mulai bersekolah di desa utama. Mereka bertemu kembali dengan guru kesayangan mereka, Miss Oishi yang biasaereka sebut dengan Ibu Guru. Bab lima, Gambar Bunga diambil sebagai judul sebab ada satu anak di antaranya yang berkeinginan punya kotak makan siang bergambar bunga teratai namun tak kesampaian karena ibunya kemudian meninggal ketika melahirkan. Si anak lalu tak lagi bersekolah. Ia diangkut ke kota menjadi pekerja (entah dari penjaga restoran kemudian geisha(?)). Sebagian bab enam dan seterusnya, cerita mulai bernada muram. Tentang tuduhan keterlibatan rekan Ibu Guru atau Miss Oishi dalam kelompok “merah“, lalu timbul perang yang mengharuskan para lelaki baik bapak-bapak, pemuda, bahkan remaja laki-laki untuk ikut ambil bagian.
Hari-hari berlalu dan menjadi semakin sulit. Para lelaki dan pemuda yang direkrut untuk pergi ke medan perang sebagian besar tidak kembali dengan selamat. Namun demikian, anak laki-laki di desa-desa itu, sudah dari kecil diindoktriasi bahwa betapa bangga dan betapa terhormatnya seorang laki-laki mati di medan perang. Ibu Guru yang kini sudah berganti status menjadi Mrs Oishi yang bergumul hebat dengan anak2 muridnya dulu direkrut menjadi tentara, lalu suaminya sendiri yang mati karena perang, tak bisa membendung semangat putranya sendiri untuk bergabung dalam ketentaraan. Ia merasa sia-sia menjadi guru karena tak berhasil menyadarkan anak-anak muridnya bahkan putranya sendiri terkait keterlibatan dalam perang.
Syukurlah bahwa pada Agustus 1945, perang dinyatakan berakhir dengan kekalahan ada di pihak mereka, Jepang. Mrs Oishi kembali mengajar atas bantuan mantan anak muridnya, Sanae, yang kini sudah menjadi guru. Dari ke-12 anak itu, ada yang berhasil seperti Sanae, Masuno, dan Kotsuro, ada yang mati karena penyakit (Kotoe) dan juga di medang perang (Nita dan Tadashi), ada yang buta sebab perang (Isokichi), dan ada yang meneruskan hidup biasa setelah usai perang. Mereka bersepakat membuat perayaan untuk sang guru yang mulai kembali mengajar di SD cabang.
Membaca bagian-bagian akhir buku ini, terutama tentang kalah perang dan akhirnya perang dinyatakan berakhir, demikian saya ikut bersyukur. Dengan menyerahnya Jepang inilah, puji syukur, alhamdulillah, Indonesia akhirnya bebas dari jajahan dan menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tentara-tentara baik di Jepang, baik yang dikirim ke medan-medan perang termasuk Indonesia, akhirnya angkat tangan, dan kembali dengan kepala tertunduk ke negara mereka.
Menutup buku ini, saya jadi membayangkan, jangan-jangan ada Nita, Isokichi, Takaichi, Tadashi, atau Kichiji, di antara para pasukan yang datang di Indonesia, dan mereka termasuk di dalam pasukan seperti yang dikisahkan Lise Kristensen dalam buku The Little Captive, atau mungkin ada yang terus di Kupang dan lebih khusus lagi merengsek masuk sampai ke Amarasi dan sempat meninggalkan anak dari darah mereka😒. Hari ini di Kupang, terdapat banyak sekali lubang perlindungan dan gua-gua yang dinamai lubang jepang atau gua jepang😣😒😔.
Terakhir sekali, “Terima kasih kepada Nona Faye RP, kamu pintar sekali memilih buku.”