Catatan Film

10 (+) Film tentang Menulis

10 Films about Writers

 I just found this post and makes me absolutely delighted. Read more about 10 Films about Writers

20160729_232623
Menonton Finding Forrester

Sejak menonton ‘Freedom Writers’ sewaktu kuliah di UPH dulu, saya semakin yakin dan optimis bahwa dengan menulis dapat menyembuhkan hati yang terluka. Menulis adalah juga sebuah sarana yang baik untuk terapi. 😉 🙂

Dengan menulis, seseorang dapat menuangkan perasaan dan pikirannya tanpa merasa tertekan atau terbeban. Dengan menulis, seseorang dapat merekam sebuah momen yang di kemudian hari akan dikenang dan tentunya disyukuri. Menulis pun dapat melepaskan beban yang sebelumnya dirasa terlalu berat. Dengan menulis pula, seseorang bisa terbawa untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan Tuhan. Tentunya ini baik bagi hati, pikiran, dan jiwa kita. Intinya, menulis itu ada banyak manfaatnya.

Maka itulah kenapa sewaktu mulai menjadi guru, saya suka menganjurkan anak-anak untuk menulis. Menulis di buku atau jurnal pribadi. Tak  harus bagus tulisan Anda untuk dipublikasi sehingga dilihat orang sedunia. Minimal menulislah untuk diri sendiri.

Di sekolah, di kelas 7 SMP sesuai KTSP 2016, ada materi tentang menuilis buku harian. Setiap mau membahas topik itu, kami akan menonton film Freedom Writers. Hanya itu satu-satu-satunya film tentang menulis yang saya tahu dan pernah saya tonton ( 😦 )

Beberapa bulan lalu, kalau tak salah akhir Juli 2016, saya mengunjungi keponakan saya (yang baru menghirup aroma bumi beberapa hari sebelumnya) di rumah tente. Menjelang larut malam, hampir semua orang di rumah itu beranjak masuk ke kamar masing masing. Hanya saya yang bertahan di ruang tengah. Saya iseng membuka televisi sekadar melihat-lihat. Tombol-tombol remote dipencet. Menengok, membaca informasi, tidak berkenan, maka dilewatkan. Demikian seterusnya. Sampai suatu saat, di salah satu chanel, HBO Family, sekilas saya melihat ada potongan gambar dan percakapan yang mirip-mirip dengan Freedom Writers, ada anak-anak remaja sedang bermain basket sambil melirik-lirik ke arah sebuah apartemen. Penasaaran, saya memperhatikan lagi dengan saksama. Hati saya melonjak gembira ketika mengetahui bahwa ternyata itu adalah film tentang menulis. Finding Forrester. Senang sekali rasanya, apalagi waktu itu hanya saya sendiri yang menonton. Bisa menikmati dengan santai dan bebas tanpa merasa terganggu–biasanya banyak kepala banyak kenginan. 😀

Sebagai respons seusai menonton Finding Forrester, saya pun merasa perlu mengabadikannya..:). Maka itu saya pun menulis sedikit pesan yang didapat dengan judul Menonton Finding Forrester.

Setelahnya, saya pun berniat mencari-cari kira-kira apa lagi film yang bercerita tentang menulis atau penulis. Bisa jadi referensi untuk menonton di kelas selain Freedom Writers dan Finding Forrester ini. Saya sempat searching untuk melihat ada film apa lagi tentang menulis atau penulis. Anehnya (saya pun tak tahu kenapa), itu semacam, “Sudah cari tahu?” // “Sudah.” // “Setelah itu?” // “Ya, sudah tahu.” (Saya tidak begitu ‘ngeh’) dengan apa yang sudah saya cari tahu. Waktu itu, saya hanya sekadar tahu, lalu sudah. Selesai. Tak ada apa-apa lagi.

Baru saja, Selasa, 7 Februari 2016, pukul 20.49 Wita, saya sementara mencari bahan lain ketika tiba-tiba saya bertemu postingan ini. Senang sekali akhirnya bisa dapat list film-film apa saja yang berkaitan dengan menulis. Terima kasih, Nicole Bianchi, atas postingannya. Sangat bermanfaat.

Btw, I like your name. It’s reminds me of someone. Thank you (once again) and God bless you.

***

Maka dari postingan ini, di sini sekalian saya simpan link-link yang membahas hal serupa. Bisa sebagai referensi kalau ada  yang mencari. Berikut link-link yang dimaksud:

20 Greates Movies about Writers by Mike Le

The 10 Greatest Movies about WritersWriting of all time by Bill Gibron

 15 best movies about writing by Rose Moore

@ http://www.imdb.com/list/ls050636344/

@ https://nfrankdaniels.wordpress.com/2009/11/05/top-11-films-about-writing/

Menulis

Menulis itu Bersyukur

“Menulis itu bersyukur,” demikian yang berulangkali berkumandang dalam hati Celine.

Ia selalu merasa bersalah setiap kali rencananya menulis selalu gagal. Sudah berberapa kali ia memelototi layar laptop namun tak kunjung menyelesaikan beberapa dratf yang ada di filenya. Kesalahan itu semakin meningkat ketika baru saja ia mendapat ide untuk memulai tulisan baru atau mau melanjutkan tulisan lama atau merevisi beberapa tulisan di dalam beberapa file tulisannya namun tiba-tiba ada gangguan-gangguan kecil lain yang datang membuyarkan konsentrasinya. Sebenarnya tak masalah bila gangguan-gangguan itu lewat, lalu ia kembali fokus. Sayangnya ketika ia bersiap memulai kembali, justru apa yang tadi sudah menggebu-gebu di kepala hilang dalam sekejap dan serasa seolah tak ada lagi semangat menulis seperti sediakala.

Sore ini, karena tak tahu dan bingung draft mana tulisan mana yang mau dipoles, ia habiskan waktu hanya dengan membaca. Ia membaca beberapa bukunya yang dibelinya sebelum pulang liburan kemarin. Buku-buku itu memenuhi tas dan dusnya melebihi barang-barang bawaan yang sedianya adalah pesanan orang rumah dalam rangka mempersiapkan acara natalan.

Saat tiba hari itu di rumah, ibunya dan adik-adiknya senang setengah mati dikiranya banyak barang bawaan itu adalah makanan dan minuman serta hadiah-hadiah natal untuk mereka. Mereka menarik napas kecewa saat tahu kebanyakan yang dibawa adalah buku-buku daripada pesanan mereka.

“Nanti, besok atau lusa kembali lagi ke kota buat belanja. Toh, hari natal tepatnya belum tiba,” ia dengan sumringah menjawab. Tak ada rasa bersalah. Anggota kelaurga itu harus berpuas diri dengan sekaleng biskuit dan beberapa jenis minuman ringan.

Walau libur, ia tetap meluangkan waktunya membaca dan menulis. Karena tak mau orang lain tahu dirinya hanya mengerjakan tulisan fiksi atau non fiksi yang bagi mereka seperti pekerjaan sia-sia dan usaha menjaring angin, ia bilang ia sedang mengerjakan tugas kantornya yang mesti dikirim lewat email. Maka demikianlah ia tetap punya alasan sibuk dan tetap bekerja di malam hari ketika orang rumah menyuruhnya tidur.

Jangan kau pikir ia hanya membaca dan menulis lalu mengabaikan keluarga. Tidak. Ia tak seperti itu. Ia cukup tahu tata krama. Ia selalu tetap terlibat dengan acara-acara di kampungnya.

Hari pertama ketika baru tiba, segerombolan bocah berlarian datang ke rumahnya menyambutnya seperti berebutan permen. Mereka cekikan kesenangan karena mereka bisa meminta diajari bernyanyi lagu-lagu anak berbahasa Inggris dan diiiringi gitar petikannya.

Untunglah di antara sekian banyak bawaan pesanan natal dan buku-bukunya, ia tak lupa membawa gitarnya. Gitar itu ia jaga setengah mati bahkan melebihi buku-bukunya yang konon adalah sahabat terbaik, jangan sampai ada satu bagian dari tubuh gitar itu yang lecet atau talinya yang salah arah. Maka, gitar itu nyaris selalu bersih dan terjaga di balik sarungnya. Di kamar sewanya di kota, ia hanya mengeluarkannya kalau memang hanya sedang jenuh dan ingin berteriak tapi karena akan mengundang perhatian apalagi tempat tinggalnya hanya berjarak sepetak-sepetak dengan tetangga sehingga ia merasa butuh gitar untuk mengiringinya dalam mengeluarkan suara-suara cempreng ataupun sumbangnya. Tak banyak lagu ia bisa mainkan. Bukan karena tak tahu tapi ia bukan seorang yang mudah menghafal lirik lagu padahal ia adalah seorang penyuka literatur dan bergiat di kegiatan membaca dan menulis. Sering ia diganggu kawan-kawannya, seorang penulis yang bergelut dengan kata-kata tapi kalau menyanyi saja bisa kata-katanya tak dipikirkan lebih dahulu sampai asal tapa mereka bilang.

Selain para bocah itu, beberapa saudara laki-lakinya juga memang butuh sekali gitar untuk menyanyi di gereja. Para pemuda itu pernah mengikuti satu kompetisi vokal grup yang diadakan satu komunitas dan keluar sebagai juara satu lalu mendapat hadiah gitar yang membuat Celine bangga tak kepalang bahwa kalau ia tak bisa dan tak berbakat menyanyi setidaknya masih ada saudara laki-lakinya yang meneruskan bakat menyanyi mamanya. Gitar kelompok pemuda itu mungkn juga bukan sebuah gitar yang cukup berkualitas sehingga bahkan baru beberapa bulan tapi sudah berkali-kali diganti talinya karena putus, atau mungkin juga mereka yang hanya membeli tali gitar murahan di kios. Tapi mungkin juga ada alasan lain di balik itu. Sang gitarisnya yang pernah melihat gitar Celine tahun lalu ketika ia mengiring anak-anak sekolah minggu menyanyi mungking juga tertarik dan ingin mencoba mencari alasan bagaimana ia bisa juga merasakan bermain gitar milik Celine. Karena Celine pun punya apresiasi khusus kepada para pemuda itu, diiyakan saja permintaan adiknya untuk meminjam gitarnya. Doanya, setidaknya sedikit banyak gitarnya sudah berguna dibawa ke sini bukan hanya kepentingan dirinya sendiri.

Niat awal ia membawa gitar itupun bukan karena ia ingin mengiring anak-anak kecil itu menyanyi ataupun untuk saudara-saudara pemudanya untuk vokal grup. Ia membawanya hanya dengan tujuan apabila tak ada kegiatan dengan keluarga, maka ia tak mesti membaca atau menulis melulu. Setidaknya di sela-sela waktu luang, gitar adalah teman yang siap dan selalu ada. Gitar bisa membantu di kala ia ingin berdiam diri sendiri sementara banyak gangguan yang mungkin menghambat keinginan kesendiriannya. Gitar itu juga sangat berguna di kala malam ketika misalnya sedang mati lampu –karena memang masa-masa hujan angin– sehingga tak bisa baca tulis, paling mengobrol, setidaknya ada kegiatan yang bisa dilakukan karena adanya gitar. Demikian dengan gitar.

Selain membenamkan diri dengan membaca dan menulis yang memang sudah disediakan waktunya itu, ia mendapat kesempatan bagus di pagi-pagi atau malam hari tatkala tak ada acara natal di rumah-rumah tertentu. Ia bisa dengan siap menampung cerita-cerita bapaknya yang pada dasarnya suka sekali bercerita tetang kisah-kisah masa dulu. Kisah-kisah masa kecil ayahnya kerajaan mereka dipimpin seorang pemimpin yang sangat dikagumi ayahnya.

Kedatangan Celine memang adalah waktu emas bagi bapaknya menumpahkan segala sejarahnya berhubung dari mereka lima bersaudara, hanya Celine yang selalu diam dan tertarik bahkan terkagum-kagum mendengar kisahan bapaknya. Adik-adiknya dasarnya memang tak suka mendengar cerita sejarah. Mereka selalu asyik sendiri entah itu mengetik-ngetik sesuatu di hp atau sengaja memutar musik di hp, atau sengaja bertanya lain untuk mengalihkan pembicaraan tatkala bapaknya mulai mengeluarkna kata-kata yang menjurus kepada cerita-cerita masa lalu mereka.
Mereka lalu selalu menjadi sasaran kemarahan bapaknya karena ketaksukan mendengar cerita sejarah. Maka itulah, semacam curhat, bapaknya memarahi mereka di depan Celine dan mendudukkan mereka beramai-ramai demi mendengar cerita bapaknya. Memang kalau ada Celine, adik-adiknya seolah seperti anak anjing yang patuh, mereka pasti akan datang dan ikut duduk bersama mendengar, tapi muka mereka tampak selalu merenggut tak suka dan tingkah mereka itu di mata Celine memang tampak lucu.

Hari ini, seorang adik perempuannya yang berkuliah di sebuah perguruan tinggi mendapat tugas laporan dari dosennyat terkait sejarah gereja dan sejarah terbentuknya desa mereka. Bapaknya tampak antusias mendengar kabar anak perempuan itu. Ia nyaris bertepuk tangan dan tertawa lebar sekali karena dengan demikian ia akan punya waktu bercerita dan pasti didengarkan.

Bapaknya segera duduk di kursi bersiap mengisahkan sampai anaknya itu mesti berkata, “Tapi sebentar, Pak. Saya ambil lembar petanyaan saya dulu.” Bapaknya baru kaget karena ia tak menyangka akan ada pertanyaan-pertanyaan tertulis terkait sejarah yang mau diceritakan. Ia diam sebentar kemudian menjawab, “Sudah sana. Cepat ambil!
Anak itu terburu-buru masuk ke dalam kamar lalu kembali keluar mendapati bapaknya yang sudah tak sabar.

Bapaknya dengan semangat menuturkan kisah tanpa peduli apakah yang dikisahkan sesuai dengan isi atau konten yang merunut kepada topik pertanyaan atau tidak. Cerita memang bisa mendetail, tapi kadang-kadang lalu melebar sampai ke berbagai hal lainnnya sehingga mesti dipotong dan dibawa kembali ke topik pertanyaan. Mendengar selaan anaknya, bapaknya kelihatan kesal karena seolah memotong dan mengganggu semangatnya bercerita.
Ia kelihatan kesal karena harus terbeban dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahasanya resmi sekali. Beberapa lama kemudian, karena memang harus sesuai pertanyaan yang sudah disusun, bapaknya hanya menjawab sesuai apa yang ditanyakan. Ia menjawab sepotong-sepotong. Tampak sekali ia sudah tak bersemangat. Kagairahan menjawab pertanyaan itu pun berkurang sampai pertanyaan terakhir.

Melihat penampakan tak mengenakkan itu, Celine mengambil lembar kertas adiknya. Diminta bapaknya bercerita secara topik besar saja sampai bapaknya merasa mungkin itu sudah semua yang perlu diketahui anaknya yang sedang ingin membuat laporan tugas kuliah itu, barulah lembaran kertas itu dikembalikan kepada adiknya. Ia disuruh bertanya lanjut pertanyaan-pertanyaan apa saja yang belum terjawab.

Adiknya yang dungu itu malah kembali ke format pertanyaan yang kaku dan menanyakan lagi hal yang bahkan sudah tersisip dalam kisahan ayahnya.

Bapaknya seketika berang. “Tadi sudah saya cerita itu apa? Telingamu kau lempar ke mana tadi sewaktu saya berbusa-busa?” ia beranjak, memakai sandalnya dan keluar ke halaman.

Celine hanya tersenyum tipis, lalu kemudian terkekeh. Ia sangat menikmati adegan pendek ini.

“Menulis itu bersyukur,” katanya lagi. Tenggelam berhadapan dengan laptopnya kali ini, tak sampai sejam, tulisannya mewujud.

Ia bahagia.

Menulis

Kenapa dan Untuk Apa Menulis

395477_523524067667956_223206234_n
Sumber gamabar: writersedit

“Kenapa” dan “Untuk Apa” adalah pertanyaan yang selalu saya ajukan pada diri saya sebelum melakukan sesuatu. Termasuk di dalamnya adalah menulis. Kenapa dan untuk apa saya menulis?

 

Ada berbagai alasan kenapa saya menulis, dan tentu juga memikirkan tujuannya untuk apa saya menulis.

Saya menulis karena, yang pertama, saya memang butuh menulis. Hanya dengan menulis segala yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami dapat diungkapkan dengan baik dan bebas (terutama dalam jurnal pribadi) hingga membuat kita merasa jauh lebih baik (lega dan terpuaskan).

Menulis membawa saya bercakap-cakap dengan Tuhan. Membuat saya untuk menengok ke dalam diri sekaligus diajak membuka jendela melihat ke dunia luar yang luasnya tak terukur.

Dengan menulis saya bisa jadi lebih tenang (kalem). Bisa duduk diam dan fokus di tempat. Dengan menulis, saya merasa bersyukur atas kehidupan. Adakalanya suatu pemikiran muncul dalam benak, sebab dengan menulislah Anda hari ini masih bisa berdiri dan berjalan dan bernapas.

Menulis itu juga belajar berbagi. Katanya pengalaman hidup tak boleh dimiliki dan dinikmati sendiri. Anda harus dan perlu untuk berbagilah dengan orang. Bercerita adalah salah satu bentuk berbagi. Itulah kenapa saya menulis cerita.

Menyangkut cerita, saya percaya ungkapan, we all, each of us, have a (great) story to tell. Tidak ada seorang pun yang tidak punya minimal satu cerita untuk diceritakan. Paling tidak bahkan ketika ia baru lahir pun ia sudah punya ceritanya tersendiri. Kapan ia lahir, di mana ia pertama kali nongol dan menghirup aroma bumi, serta bagaimana suasana atau atmosfer bumi saat itu yang menyambutnya. Belum lagi namanya yang mungkin punya arti khusus, belum lagi kisahan-kisahan perjalanan hidupnya. Setiap orang punya kisah yang berbeda dan unik yang tentu akan menarik bagi orang lain.

maxresdefault
Sumber gambar: https://i.ytimg.com

 

 

Menulis juga adalah salah satu cara mengabadikan momen. Sebuah pengalaman berkesan mestilah ia dipakukan agar kelak ia diingat dan dikenang. Bahwa ternyata perjalanan hidup saya ini indah betul. Terlepas dari entah itu pengalaman menyenangkan, menyedihkan, mengecewakan, mengharukan, dll. Semua itu menarik kita kepada rasa syukur tak terhingga kepada Dia, Pencipta dan Pemilik Semesta.

 

Catatan Film

Menonton “Finding Forrester” 

movie-quote-finding-forrester
Sumber: whatascript

Satu lagi film tentang menulis. Judulnya “Finding Forrester“. Karena film ini tentang menulis, maka patutlah seusai menonton, saya pun ‘wajib’ melaksanakan apa yang menjadi pesan dari film tersebut.

Awalnya saya hanya buka tivi tanpa niat memilih chanel tertentu. Nyatanya, tulisan yang muncul pertama di bagian pojok kanan atas, “Finding Forrester” HBO family (Indovision). Membaca kata “Forrester”, sempat timbul di benak saya, sepertinya kata ini berarti sesuatu. Pernah saya dengar tapi entah itu di mana atau kapan. Penasaran, saya pun batal memencet tombol lainnya dan menonton di situ saja.

Rupa-rupanya, di awal-awal saya tangkap film tersebut mirip dengan film-film pendidikan yang sewaktu kuliah dulu diperkenalkan dan diputar di kelas. Seperti halnya Ron Clark atau Freedom Writers, Dead Poet Society, atau semacamnya.

Tiba di adegan tas sang pemuda dikembalikan sekaligus dengan coretan komentar sang kakek misterius, baru saya tangkap, “Tak salah lagi. Ini film tentang menulis. Dan Forrester adalah nama seorang penulis (entah di dunia nyata entah hanya di film).”

Hati saya gembira bukan main. Keletihan saya sehabis menempuh perjalanan jauh malam-malam dari satu daerah di dekat pelabuhan Kupang mengantar seorang siswa yang baru saja mendengar pengumuman lomba dan balik ke daerah dekat bandara menengok si adik bayi yang baru saja keluar dari rumah sakit serta merta hilang.

Kelegaan dan kepuasan saya berlipat ganda. Saya tiba sebelum orang-orang yang berkumpul berangkat tidur sehingga saya bisa sempat menyapa si adik bayi yang menjadi alasan larut-larut malam saya dari ujung barat Kupang menuju timur tepatnya Desa Penfui Timur.

Seusai mandi dan diminta memimpin doa tidur, mereka yang lain satu per satu bergerak pergi tidur, sementara saya iseng-iseng membuka tivi.

Sudah pukul 11 malam lebih sedikit. Tak apa, besok Sabtu. Memang ada parents meeting meski hari libur. Saya mendapat satu tugas kecil di gelombang ke-2 pukul 10.00. Bangun pagi memang tetap, tapi setidaknya tidak ada persiapan mengajar. Nikmatilah tontonan yang disajikan. Waktu yang tepat. Beruntung yang lain sudah pada mengantuk sehingga bisa saya sendiri mengusai tivi.

Di sela-sela waktu menonton, saya mengambil HP dan mencoba menelusuri kata finding forrester di internet. Saya cukup kaget. Film tersebut sudah dari tahun 2000/2001 dirilis. Sekarang sudah tahun 2016, dan saya baru tahu tentang film ini. Di manakah saya selama ini? Kenapa saya sama sekali tak pernah mendengar tentangnya? Saya bertanya-tanya sendiri namun itu tak berlangsung lama.

Biarlah sudah. Tak perlu disesali yang sudah berlalu. Toh, malam ini saya menonton juga. Bagi saya, terlambat tahu masih lebih baik daripada tidak sama sekali. So, tetap berterimakasihlah kepada Dia.

Berikut beberapa poin penting mengenai menulis dari film “Finding Forrester“:

# “Pertama-tama, menulislah dengan hatimu. Barulah kemudian menyusul kepalamu.” Demikian nasihat William Forrester kepada Jamal, sang tokoh utama.

# “Kunci utama menulis adalah menulis. Bukan berpikir,” kata Forrester menanggapi Jamal yang menjawab “Berpikir,” ketika ditanya apa yang ia lakukan.

# “Banyak penulis tahu aturan menulis, tapi mereka tak tahu bagaimana cara menulis.” Menjadi kalimat yang patut direnungkan.

# Perdebatan mengenai penggunaan kata ‘dan’ & ‘tetapi’ yang saya kira patut diketahui setiap orang, tak hanya bagi yang menulis.

# Selain pesan-pesan kepenulisan, terdapat juga nilai-nilai kekeluargaan, persahabatan, penghargaan, dll yang terkandung dalam film keren ini, “Finding Forrester“. :3 :3 :3

Btw, bagi siapapun yang sudah lama tahu film ini, saya ucapkan selamat buat Anda… 🙂

Cerpen

Perdebatan Menulis

“Apakah kau pikir ini adalah inginku agar aku berhenti menulis?”

“Ya, itu keinginanmu sendiri untuk berhenti menulis,” tampak tenang kawannya menyahuti.

Sumber: thephilosophyclub

“Aku tak pernah tak ingin menulis. Kau tahu itu.”

“Kau yang memutuskannya sendiri. Kau yang menarik diri untuk tidak menulis. Jujur sajalah.”

“Aku sudah jujur. Jelas ini bukan inginku untuk berhenti menulis.”

“Kau sudah lama sekali terlena dan terbuai dengan kenyamanan hidup yang ditawarkan dunia,” sinis sang kawan menyahut.

“Jangan salah. Bahkan aku sendiri tersiksa. Kau dengar itu, aku tersiksa. Sebab sudah lama sekali rasanya aku tidak menulis.”

“Oh, kau merasa juga rupanya,” tersenyum sang kawan mengejek. “Betul-betul tak kusangka kau bisa tersiksa karena tak menulis,” lanjutnya seraya melempar pandang ke arah lain. “Lantas kenapa kau tidak menulis untuk menghentikan penderitaan itu?”

“Aku tak punya waktu untuk menulis.”

“Hah, tak punya waktu? Klasik betul alasannya.”

“Ya, terserah apa pendapatmu. Memangnya kenapa?”

“Apa kau tahu? Dengar, itu karena kau saja yang tak meluangkan waktu buat menulis.”

“Apa? Tak meluangkan waktu? Coba kau ulangi kata-katamu,” ia mulai terlihat marah.

“Kau yang tak meluangkan waktu buat menulis.”

“Hah? Dengar baik-baik. Kau tahu apa tentangku? Kau tahu apa tentang waktuku? Kau tahu apa tentang tuntutan pekerjaanku? Kau tahu apa tentang maunya teman-temanku? Kau tahu apa tentang harapan keluarga dan tetangga-tetanggaku di rumah? Kau tahu apa tentang keletihanku sehabis bekerja? Kau tahu apa tentang penyakit dalam tubuhku? Hah, kau tahu apa?” ia sudah memasuki tahap nyaris kerasukan sebab teriakannya kali ini sudah nyaris berupa lolongan.

“Aku tahu,” suara sang kawan yang masih terdengar tenang. “Maka itu aku bilang, kau sendiri yang tak mau meluangkan waktu buat menulis.”

“Aih… Sungguh membuat gusar,” kini suaranya merendah. Bernada menggerutu.

“Ok, baiklah. Menurutmu, kenapa kau tak menulis selain alasan tak punya waktu?”

“Aku… Aku sudah seperti tak bisa berpikir lagi. Aha, Apa kau pikir orang yang menulis hanya perlu mengambil pena dan kertas lalu menulis, atau menghidupkan komputer atau laptop kemudian mengetik?”

“Ya.”

“Bodoh.”

“Aku tidak bodoh. Menulis itu tidak susah. Kau hanya perlu melakukannya tiap hari.”

“Lalu yang kau tulis, aku bangun pagi-pagi lalu ke kantor. Pulang-pulang sudah capek. Remuk rasanya raga ini. Otakku tak lagi mampu berpikir. Jadi aku memulih langsung tidur saja. Besok pagi aku akan ke kantor lagi. Di sana pekerjaannya menumpuk. Aku bekerja sampai letih lalu aku pulang dan karena merasa capek aku langsung tidur. Besoknya aku bangun lagi dengan malas pergi ke kantor lalu bekerja. Apa hanya itu-itu saja yang akan kau tulis?”

“Nah, apa susahnya. Kau sudah membuat kurang lebih satu paragraf,” kembali sang kawan menanggapi.  “Ya sudah, kalau begitu teruskan paragraf selanjutnya.”

“Paragraf selanjutnya? Apa maumu kutulis lagi mengulang paragraf sebelumnya?”

“Kalau yang kau lakukan dan kau mengerti setiap harinya seperti itu, ya berarti kau tak lebih dari sesosok mayat hidup. Kau tahu Zombie? Nah, itu kau,” kata sang kawan dengan tegas tanpa tedeng aling-aling.

“Enak saja kau bilang aku Zombie?” ia melotot. Dua bola bulat itu seperti mau meloncat keluar.

“Nah, kalau kau bukan Zombie, lalu apa?”

“Aku manusia. Yang ingin dalam setiap apa yang dikerjakan benar-benar punya arti dan memberi manfaat. Bukan hanya sekadar bekerja. ”

“Kau menanam arti begitu?”

“Apa pula bahasamu itu? Aku tak mengerti.”

“Kau mau memberi arti dalam pekerjaanmu. Maksudku supaya yang kau kerjakan itu ada maknanya, dan setidaknya meninggalkan kesan bagi orang lain. Memberi manfaat atau menginspirasi orang di sekitarmu.”

“Kau tahu sekali,” kini ia mengembangkan senyumnya dengan lebar.

“Maka tulislah yang kau harapkan, atau setidaknya buat refleksilah terhadap yang kau kerjakan.”

“Boleh tidak kau yang tuliskan?” tersenyum nyengir.

Lho, kok malah aku yang kau suruh tulis? Sudah terbalikah dunia?”  kawannya kaget disodorkan tugas serupa itu tanpa rasa bersalah dari sang pemberi.  “Kenapa tak kau saja. Tadi sudah kau buat satu paragraf itu. Kan kau yang memulainya. Harus pula kau menyelesaikannya.”

“Aku sudah tak bisa.”

“Aku bilang, lanjutkan!”

“Aku tak bisa.”

“Coba dilanjutkan!”

“Lanjutkan dengkulmu. Aku tak punya kata lagi.”

“Coba dilanjutkan!”

“Ya, dan begitu orang membacanya, baru satu kalimat dibaca langsung meremukannya dan pergi dengan mengumpat kesal, ‘tulisan sampah’, “apaan ini, unek-unek tak berbobot’.”

“Coba saja kau lanjutkan.”

“Aku tak paham maksudmu, kawan. Terima kasih.”

“Lalu kenapa kau kelihatan tertekan begini?”

“Sudah kukatakan, tidak menulis membuatku sakit.”

“Baiklah. Mungkin aku cukup mengerti. Hmm, sekarang coba jawab pertanyaanku. Apakah kau membaca?”

“Aku suka sekali membaca. Hanya seperti yang kubilang, aku tak punya cukup waktu buat membaca.”

“Nah, itu dia. Di situ letak kesedihannya. “

“Kenapa memang?”
“Ya, jelas kau tak bisa menulis lancar kalau kau tak membaca.”

“Hubungannya?”

“Waduh, dari mana kau tahu susunan kata lalu kalimat lalu paragraf yang baik kalau bukan dari hasil membaca?” nyaris meringis ia menerangkan. “Orang menulis bukan karena ia sekadar ingin menulis. Tapi karena ia suka membaca, banyak membaca, plus segala indranya ia pertajam untuk menangkap semua kejadian di sekitarnya. Lalu karena di dalam kepala dan hatinya banyak sudah terisi apa yang diresapinya, maka mau tak mau agar kepalanya jangan meledak, ya ia mesti meluapkannya, ia mesti belajar berbagi kepada orang lain, ya.. dalam bentuk tulisan. Ia menulis. Dan jadilah ia penulis yang baik.”

“Ceramah yang panjang.”

“Ya, sudah bisa jadi satu paragraf.”

“Ya, aku tangkap maksudmu. Aku memang jarang membaca.”

“Maka itu yang menyedihkan. Memprihatinkan betul.”

“Demikian membaca dan menulis itu harus berjalan beriringan setiap hari,” ia bergumam.

“Sudah harus. Walau hanya sebentar,” gumamannya disahuti.

Momen selanjutnya, hanya keheningan yang melingkupi keduanya. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya.

“Ehm, tapi apakah sempat kau pikirkan apa yang kau baca?” keheningan pun sirna seketika.

“Aha, mungkin itu yang tidak. Aku hanya membaca lewat dan selesai. Sekalipun aku menikmati bacaannya.”

“Apa yang kau baca?”

“Ya, apa yang menarik dan ingin kubaca, ya, kubaca.”

“Berarti kau membaca. Bagus, setidaknya kau masih membaca,” suara sang kawan lebih tepat sebagai gumaman. “Hanya kau tak bisa lagi menulis katamu. Berarti kau tidak menyatu, atau kurang menyatu dengan yang kau baca. Kau hanya membaca asal membaca. Dan kau juga tak mau membiarkan diri tenggelam dalam perenungan akan apa yang kau baca.”

“Ya, aku memang kurang merenung,” jawaban yang diiringi anggukan kepala.

Yup. Benar. Maka dapatlah itu penyebabnya. Kau kurang merenung.”

“Memangnya ada pengaruhnya menulis dengan merenung?”

“Apakah kau tak sadar bahwa pertanyaanmu itu membuatku gusar?”

“Eehh…hmm…ya?”

“Ya, mestinya kau sadar. Berkontemplasi, kau tahu itu membuat tulisanmu sedikit lebih berisi. Tidak berkontemplasi membuatmu tulisanmu kering garing seperti kerupuk.”

“Kurasa bukan hanya karena itu,” ia berkata pelan sembari menekuri lantai.

“Lalu apa?”

“Karena seseorang tak tahu atau tak menghayati motivasinya, kenapa dan untuk apa ia menulis.”

“Lalu sebaiknya?” tersenyum kecil.

“Kenalilah motif kenapa dan untuk apa kau menulis.”

“Nah, itu. Kau saja tahu. Ya, betul katamu, kenali motivasimu. Sama seperti kau merenungkan kenapa dan untuk apa kau kepalang nongol di muka bumi.”

“Oh, kau pernah tak menerima kau nongol di muka bumi?” dengan wajah terenyak ia bertanya.

“Ya. Dulu.”

“Tapi sekarang tak terbayang sudah berapa banyak buku karya penulis-penulis andal dipoles di tanganmu, bukan?”

“Maka itu, menulislah kembali. Yakin, pasti akan kubantu poles.”

Tawa lepas keduanya dibebaskan ke udara.

Kupang, Januari 2016,

Di tengah-tengah membaca “Sanctuary of the Soul” oleh Richard J Foster

*  Tentang kepala saya yang gaduh. Mungkin seperti halnya salah satu judul buku Aan Mansyur, ‘Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia  🙂

Cerpen

Rumusan Menulis*

hqdefault
Sumber gambar : i.ytimg.com

‘Kalau bukan kusadari hidupku adalah sebuah cerita persinggahan yang dituliskan, maka mungkin aku sudah membuat diriku berakhir sebelum ending yang dimaksud sang penulis.’

 

‘Maksudmu?’

‘Tak kau temui aku lagi di sini sekarang. Sebab aku pasti sudah lama mati. Ya, mati yang bukan karena tiba saatku mati. Tapi ini mati, mati yang datangnya kujemput sendiri.’

“Apakah begini sudah baik pembukaannya?” ia akhirnya bergumam. Sendiri ia dalam ruangan. Tak ada yang menanggapinya.

Ia sedang mencoba mengerjakan tugas dari kelas menulis yang diprogramkan kampus. Program yang sudah lama ia dambakan ada di kampusnya. Maka tak heran ketika diumumkan bahwa akan ada kelas menulis itu, ia malah orang pertama yang mendaftar. Dan setelah berlangsung beberapa kali pertemuan itu, para peserta diberi tugas. Menulis sebuah cerita pendek. Oleh trainer-nya, mereka diminta membuat cerita yang mesti berangkat dari pengalaman pribadi.

Setelah pikirannya dibawa mengelana pada potongan-potongan kenangan, dapatlah ia sebuah ide. “Bagus,” soraknya. Cerita ini ingin ia buka dengan dialog. Biar menggigit, begitu kata sang trainer. Namun kalimat yang ia tulis hanya berhenti sampai di situ. Selanjutnya ia seperti merasa buntu. Tak tahu lagi bagaimana atau dengan kata-kata apa lagi mesti ia lanjutkan.

Otaknya mendadak sumpek. Seperti hawa bulan Oktober yang menggerahkan. Atmosfer dalam kamar sewanya yang di lantai dua ini pun berasa sesak. Suara berisik kipas angin dirasainya sangat mengganggu. Ia mengulurkan tangan lantas memencet tombol off. Hening seketika.

Bergerak ia menuju jendela. Menarik gorden dan membukanya lebar-lebar. Udara malam berhembus masuk. Di langit tak ada satu pun kerlip bintang. Mendadak ia merindukan kampung halamanya yang di kala malam justru penuh bertaburan bintang.

Kembali ke meja belajar, jendela tetap ia biarkan terbuka. Biarlah, pikirnya. Toh tak ada yang akan memanjati pagar berkawat duri di depan lantas harus pula merangkaki dinding tembok baru bisa sampai ke jendela kamarnya. Kecuali ada orang iseng melempar kerikil ke dalam. Kalau itu terjadi, ya tinggal kembali ditutup jendelanya.

Ia menatap layar laptop yang baru memunculkan beberapa baris kalimat percakapan tadi. Di sana ada dua tokoh sedang bercakap. Ia belum memutuskan, apakah keduanya cewek, ataukah cowok, ataukah satu cewek dan satu cowok. Kalau satu cewek dan satu cowok, manakah yang cewek dan manakah yang cowok. Itu sama rumitnya dengan tiap pagi kau mesti memikirkan, apakah kau memilih masak nasi dan lauk, ataukah nasi saja lalu membeli lauk, ataukah membeli nasi dan lauk sekalian di luar, atukah mi instan saja, ataukah jajan gorengan di pinggir jalan.

Ampun, apa hubungannya penokohan cewek-cowok dengan nasi-lauk. Ya, sudah. Intinya ada dua tokoh bercakap. Satunya menceritakan kisah hidup atau pengalaman pribadinya, dan yang lain berperan sebagai orang bloon yang tak tahu-menahu tentang keadaan kawannya itu.

‘Apa betul yang kau maksudkan adalah bunuh diri?’

Memang tepat sekali tokoh kedua ini berperan sebagai orang bloon. Pertanyaan yang diajukannya saja jelas-jelas menunjukan kalau ia orang bloon. Yup, cocok sekali.

Ok, lalu kira-kira apa tanggapan tokoh pertama. Apakah ia mesti menjawab, ‘ya’ ataukah mesti tertawa, atau perlu mengamuk marah karena jengkel.

Kalau mau ditelisik, jelas dua tokoh itu adalah gambaran kepribadiannya. Dua karakter yang sedang bercokol dalam dirinya. Yang satunya adalah ia yang mungkin sudah sejak lama berpikir untuk menghabisi hidupnya. Satunya lagi adalah tentang ia yang sudah merasa tak diterima sejak lahir bahkan oleh dua manusia yang bersepakat membuatnya. Maka ia menganggap dirinya adalah makhluk bloon yang paling menjengkelkan dan yang tak pernah diinginkan di muka bumi. Oleh orang yang membuatnya saja sudah demikian, apalagi orang-orang lain.

Sewaktu kanak dulu, sering tak sengaja ia memergoki ayah dan ibunya bertengkar hanya karena pembicaraan tentang ia yang terlontar keluar ke bumi bukan sebagai anak laki-laki tapi justru perempuan. Di rumah sudah ada lima perempuan. Mau ayahnya kali ini adalah ada setidaknya satu anak laki-laki di rumah untuk meneruskan marga keluarganya. Tapi justru yang keluar bukan jantan, malah lagi-lagi betina, demikian umpat ayahnya.

Rasa-rasanya ia ingin berteriak balik kepada kedua orangtuanya. Ingin menggugat bahkan ia sendiri pun tak pernah menghendaki dirinya muncul di bumi apalagi di keluarga yang tak pernah menginginkannya. Lima orang kakaknya pun seperti batu. Mereka melihat tapi tak pernah menganggap penting masalah ini. Lebih-lebih dua di antaranya yang sudah berkeluarga. Walau begitu ia tak pernah menaruh amarah pada mereka, toh bukan mereka juga yang salah.

‘Kalau pikiranku pendek, ya.’

Mungkin begitu mestinya tokoh pertama menyahut.

‘Untungnya tidak. Lantas apa yang kau lakukan?’

‘Kau tahu suaraku tidak bagus-bagus amat kalau menyanyi. Kau pernah mendengar sendiri bukan? Saat menyanyi suaraku selalu bengkok ke kiri atau kanan, bahkan terkadang jauh sekali dari nada yang semestinya. Liriknya pun, ah.. yang kutahu asal nyambung.’

‘Bukan pernah malahan, tapi sering. Kau tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba saja bernyanyi.’

‘Di rumah dulu, cara aku melampiaskan segala gundah adalah dengan bernyanyi di kamar mandi sewaktu mandi.’

‘Kau lucu.’

‘Tidak di saat itu. Karena pada dasarnya aku memang tak diinginkan di rumah, maka kau tahulah, segala yang kuperbuat, apapun itu adalah selalu salah. Aku dimarahi habis-habisan. Katanya aku berteriak kayak orang kesetanan. Padahal aku hanya bernyanyi sebagaimana orang bernyanyi. Tak keras-keras amat juga. Hanya memang suaraku ya  demikian adanya.’

“Apakah mesti begini kutulis?” lagi-lagi ia bergumam.

‘Semenjak itu, tak pernah lagi aku mandi di kamar mandi di rumah.’

‘Lalu di mana kau mandi? Atau apa kau memutuskan tak pernah mandi lagi?’

‘Bodoh,’ semprot tokoh pertama kesal. ‘Mana mungkin aku tak mandi. Ya jelas, mandilah. Setiap subuh dan petang aku memilih pergi ke lembah untuk mandi di sana. Ada pancuran dengan sebuah drum penampung yang katanya sudah didudukan di sana di sebelum aku lahir bahkan sekarang pun ia masih ada walau sudah penuh lumut.’

‘Kenapa mesti setiap subuh dan petang mesti mandi di sana? Apakah kau tak takut dengan hantu-hantu yang bergentayangan?’

‘Apakah kau tak mengerti maksud ceritaku? Aku mandi di lembah biar bisa bebas bernyanyi. Tak ada yang melarangku. Tak ada juga yang perlu merasa terganggu. Bahkan ketika aku kadang sampai tak tahan dan meluapkan parau suaraku sepuas hati.’

Di sini tiba-tiba dirasainya matanya panas. Ah, kenangan itu sungguh merasuk. Ia seorang perempuan. Rasa sedih yang pekat sanggup mengalahkan ketakutannya berangkat pagi-pagi sekali saat hari masih gelap ke lembah atau pada petang menjelang malam. Di sana terkadang ditemuinya satu dua orang petani yang berangkat pagi-pagi sekali atau pulangnya kemalaman. Sekalipun begitu, di antara mereka tak ada yang pernah mau mandi di sana. Mereka semua mandi di rumah. Dengan air yang memang ada juga dialirkan di perkampungan. Hanya ia satu-satunya orang yang mandi di pancuran di lembah itu.

‘Apakah orang-orang tak menganggapmu aneh?’

‘Tak hanya dianggap aneh. Justru dibilang bersekutu dengan setan penunggu lembah’

Aih, kenapa ini cerpen isinya dialog semua?” ia mengumpat setelah mencermati baik-baik isi tulisan. “Bagaimana narasinya?”

Ia mengambil kertas dan bolpoin. Membuat coret-coret tak beraturan. Sampai kepalanya jatuh terkulai di atas meja barulah ia sadar, lantas mematikan laptop, menutup jendela, dan pergilah ia tidur.

***

Kubilang padamu, catat. Bahwa syair lagu yang kudengar di toko buku yang baru saja kukunjungi tadi benar-benar menyihirku. Syair dengan alunan lagunya sungguh perpaduan yang membawaku sejenak mencicipi secuil nirwana dunia. Bagaimana tidak, ia melagukan kisah seperti yang pernah dan sedang kualami.

Sekarang aku betul-betul ingin bertaruh. Siapa yang mau bertaruh denganku? Bahwa pasti para pencipta atau pelagu ini adalah malaikat utusan Tuhan yang didatangkan untuk menolong setiap insan yang sedang dilanda gundah. Mereka pasti punya hati yang besar nan luas nan lapang untuk orang-orang semacam aku yang baru saja menemui jalan buntu lantas berpikir ini sudah jalan satu-satunya, berhenti, dan matilah.

Aku yang sementara berdiri di depan kasir tadi, bersiap hendak membayar, mendadak terkesima ketika dari speaker mengalun lagu itu, lantas dengan saksama menyendengkan telinga.

Hingga lagu berakhir. Aku menarik napas.

Dan Bernyanyilah, dari grup band Musikimia,” kata sang kasir tersenyum.

“Keren sekali, aku jadi dapat sebuah rumusan menulis. Tuliskan apa yang kau rasakan, dan rasakan apa yang kutuliskan.” Aku berucap spontan. Jelas saja kegirangan.

“Neng suka menulis?” sebuah sapaan terdengar tepat di belakangku.

Aku menoleh. Oh, untunglah toko tak sedang ramai. Tak banyak antrian. Hanya seorang pemuda di belakangku itulah. Ia tersenyum sopan.

“Saya blogger. Kebetulan kemarin sempat saya baca, mereka sementara menyelenggarakan lomba menulis cerpen tentang inspirasi lagu ini,” jelasnya.

“Benarkah? Ah, Aku sungguh tak percaya. Kalau benar itu ada, maka aku mesti ikut.”

“Benar. Sebentar, saya buka linknya.” Ia sibuk mengetik, mengklik, dan scrolling di layar handphone-nya.

“Nah, ketemu. Ini, kalau kau tak percaya. Baca saja!” tanpa sungkan ia menyodorkan HP-nya ke tanganku.

Benar sekali. Tulisan di layar HP itu sungguh membuatku nyaris seperti tak lagi menapaki lantai.

Amazing. Aku akan menulis sebuah cerita. Tapi bukan semata-mata karena dan untuk mengikuti lomba ini. Aku menulis sebagai tanda ucapan terima kasihku untuk mereka, para malaikat utusan Tuhan yang dikirimkan datang menghibur jiwaku yang gundah, dan menyemangatiku kembali untuk mewarnai hidup.”

Sang blogger itu tersenyum.

“Oh, tolong. Terserah mau kau nilai apa tentang lakuku sekarang. Tapi lagu ini bagiku sungguh menggugah.” Demikian kuminta pengertiannya.

Sekarang aku akan melanjutkan ceritaku. Nikmati saja prosesnya. Kau hanya perlu menuliskan apa yang kau rasakan, lalu merasakan apa yang kau tuliskan.

Sungguh kalimat lagu yang mencerahkan. Tak ada lagi yang namanya jalan buntu. Dalam proses menulis, ataupun problem kehidupan.

***

Kalau memang sampai waktunya sebuah cerita harus berakhir, dengan kata lain ia sudah tiba pada ending-nya, jangan lagi ia ditahan-tahan. Lepaskan, dan tutup. Di situ letak daya pikatnya. Cerita tambahan yang dipanjang-panjangkan hanya akan merusak makna. Orang yang membacanya pun tidak lagi tertarik. Demikian yang terngiang di telinganya kata-kata sang trainer tentang ending cerita.

Kini di matanya, tokoh pertama dan kedua dilihatnya saling menghampiri dan berangkulan.

‘Kau seorang mahasiswi yang hebat,’ suara itu menggema di kepalanya.

HP di sampingnya bergetar. Sebuah pesan suara terdengar, “Bernyanyilah, senandungkan suara isi hati, bila kau terluka. Dengarkan alunan lagu yang mampu menyembuhkan lara hati. Warnai hidupmu kembali. Ayo, apa peduli kita dengan suara kita yang tak merdu ini. Asal segala larut gundah terluapkan, dan pintu-pintu lain pun dikuakan.” Dari sang blogger yang menginfokan lomba menulis sore tadi di toko buku.

*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co

 

Menulis, Puisi

Menulis adalah Caraku…

menulis
Sumber: indianareview

Kalau kau bertopeng, kau sakit

Tidak bertopeng, kau diinjak

Maka…

Menulis adalah caraku mengungkap jujur

Menulis adalah caraku melepaskan kesah

Menulis adalah caraku menyembuhkan perih

Menulis adalah caraku menghilangkan pedih

Menulis adalah caraku membunuh luka

Menulis adalah caraku mengisi lapar

Menulis adalah caraku membasuh dahaga

Menulis adalah caraku berdoa

That’s all…

Tuhan… Kurindu sangat kedekatan kita

Seperti semasa aku bocah dulu

Tak perlu segala doktrin untuk aku bisa berdoa.

Sungguh bagi-Mu,

segala tentangku tak ada yang tersembunyi.

 

Minggu, 20 Januari 2012