Tokoh Idola

Dua Aktor Idola

Kalau saya ditanya–walau mungkin saja tak akan pernah ada orang yang mau bertanya tentang hal ini–Siapa aktor idola anda, aktor Indonesia maksudnya? Maka akan saya jawab, “Sejak kecil, aktor Indonesia yang saya idolakan hanya dua orang. Christian Sugiono dan Nicholas Saputra.” Kebetulan juga ba’i* kandung saya dari pihak bapak namanya Kristian, plus ipar sulungnya bernama Nikolas.

2799960572_1a8f67e2e520150813_151811

Pertama kali melihat kedua aktor ini, saya seperti kena setrum tiba-tiba. Saya biasa lebih dulu mengetahui nama dan foto mereka pertama kali halaman koran yang meliput khusus tentang selebriti, barulah di tivi ketika tampang orang itu terlihat barulah saya ingat, oh ini orang yang pernah saya lihat di koran.

Aktor pertama, karena ketika pertama lihat fotonya, saya langsung menyukai lesung pipinya dan matanya yang keren–karena saya pun meyakini saya punya lesung pipi dan mata yang mirip dengannya. Aktor kedua karena saya suka rambut ikalnya, karena rambut saya pun ikal yang mirip-mirip. Aktor kedua ini pun mendapat porsi lebih karena perannya di film AADC itulah, ia serupa sosok misterius dengan tatap matanya yang seolah tersimpan sebuah kelam 🙂

Di kemudian hari, bertahun-tahun mengidolakan mereka, saya pun terbawa saja–yang saya percayai atas pimpinan Tuhan–akhirnya bisa bertemu langsung dengan mereka. Baru saya dapati tak tahunya ternyata dua orang ini punya kemiripan.  Ternyata selain di dunia entertain mereka juga entah terseret entah memang juga punya minat di situ, rupanya kedua orang ini ada keterkaitannya dengan dunia tulis-menulis–begitulah saya menyebutnya, selain di kemudian hari ternyata kawan main peran sang aktor kedua di AADC menjadi istri aktor pertama.

Aktor pertama, CS saya melihatnya pertama kali di UPH, Lippo Karawaci. Waktu itu Festival Penerimaan Mahasiswa Baru (welcoming new students)–tahun berapa saya agak lupa. Dia salah seorang narasumber dalam satu diskusi. Topik diskusinya benarnya saya agak lupa. Hanya seingat saya ia menyebut-nyebut tentang ‘wikipedia’. Kalau tak salah ia sempat mengatakan ia bekerja di Wikipedia atau seorang penulis lepas atau kontributor atau apalah istilahnya di Wikipedia–ternyata setelah mencoba mengecek di internet, barulah saya dapat info jelasnya CS waktu itu adalah duta Wikipedia Indonesia.

2802557198_7fbcf88501

Diskusi itu berlangsung di Cafe of Art UPH yang satu gedung dengan kantin kampus, Food Junction. Jadi tak sengaja waktu saya dan kawan saya pergi mengambil makan siang, tepat di lantai dasar ketika melewati Cafe of Art, saya melihat ada deretan kursi tersusun rapi dan beberapa orang sementara duduk menyimak. Ketika saya menoleh ke arah panggung, baru saya tahu. Ada CS ternyata di sana.

Keberadaanya memang tak begitu menarik perhatian, sebab di samping kiri kanan panggung, banyak berlalu-lalang para mahasiswa yang keluar masuk kantin. Selain mungkin karena tampang para aktor/aktris di sini tak beda-beda jauh dengan para mahasiswanya, dan banyak sudah para mereka (pekerja seni) yang juga adalah bagian dari kampus ini, atau juga sering diundang manggung di sini. Jelaslah kedatangan CS itupun menjadi sesuatu yang biasa, membuat saya yang awalnya sumringah mengetahui keberadaannya di kampus pun ikutan merasa biasa.

2801664351_8858eb951e

Pada kawan, saya berbisik, “Itu aktor idola saya dulu.”

Ia tertawa sebentar, “Terus, sekarang tidak lagi?”

Tanggapannya saya sambut dengan ketawa pula.

Sang kawan saya ajak ikut berdiri sebentar mendengarkan kira-kira apa yang sedang ia bicarakan. Sebentar saja kawan saya sudah bosan karena itu tentang menulis. Ia memang tak begitu tertarik dengan dunia-menulis.

Ia mengajak lanjut mengambil makan siang yang saya tangguhkan, “Duluan saja, saya belum lapar. Nanti baru saya nyusul.” Padahal sebenarnya perut saya pun sementara keroncongan.

Ketika kawan saya naik ke lantai atas–tempat makanan kami ada di lantai atas–saya segera mencari tempat duduk untuk ikut mendengarkan pemaparannya tentang penulisan di wikipedia. Diskusi itu di ruangan terbuka sehingga siapa saja bisa mengikutinya. Kebetulan juga peserta yang mendengarkan pemaparannya tidaklah banyak. Banyak kursi yang tak diduduki.

Saya mengikuti sampai selesai. Bahkan sampai sesi tanya jawab walau sekarang kalau kau tanyakan pada saya apa materinya dan apa-apa saja yang didiskusikan jelas saja saya sudah lupa, karena waktu itu mungkin saya lebih fokus pada lesung pipi sang aktor, cara ia menatap para audience, dan ternyata suaranya juga bukan main kerennya. 😀

Hanya begitu saja kisah pertemuan saya dengan aktor idola pertama. Dia berbicara di atas panggung sana dan saya hanya seorang mahasiswi semester awal-awal yang tidak populer sama sekali, yang duduk di bangku peserta sambil mengagumi dari jauh. Dalam hati saya salut benar. Betapa keren ia yang sudah tampangnya rupawan juga mau terjun di dunia tulis-menulis. Pikir selama ini para artis hanya mengandalkan tampang fisik. Dan ini, sudah bertampang keren, pintar pula. Entahlah terserah apa yang kau pikir, tapi pintar versi saya adalah mereka yang ikut ambil bagian dalam dunia tulis-menulis. Entah terlibat langsung atau sebagai apresiator.

Waktu itu, sebagai mahasiswa kere yang tak punya HP kamera jelas saja tak ada fotonya yang sempat saya abadikan (Sumber foto CS dalam tulisan ini pun baru saya ambil dari sini, sepertinya diupload anak UPH juga yang waktu itu hadir). Saya hanya mengamati dari jauh ketika mereka foto bersama narasumber dan moderator atau MC. Tak ada yang heboh di antara para peserta diskusi meminta foto. Tak ada sama sekali.

Usai sesi foto, ditemani beberapa orang mungkin panitia festival, CS menikmati makanannya di kantin kampus lantai dasar. Melihat mereka makan, saya pun segera naik ke lantai atas mengambil ransum makan siang saya.

Berbeda dengan aktor pertama, kali ini pertemuan dengan aktor kedua justru meninggalkan kesan tersendiri. 😉 🙂 Pertemuan kami bukanlah di area kampus elite nan mentereng yang menjadikan keberadaannya tampak biasa di antara seribu rupa manusia yang mirip-mirip. Kali ini pertemuannya dibungkus sabana yang membentang luas dan pemandangan yang serba lepas. Sumba, NTT.

Feel-nya beda,” komentar seorang kawan saat mendengar cuplikan cerita pengalaman saya selang beberapa hari kemudian ketika kembali ke Kupang.  “Dibanding UPH.”

Pertemuan ini pun masih berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Waktu itu sungguh saya merasa terhormat diberi kepercayaan dari kawan-kawan Komunitas Sastra Dusun Flobamora  (Dunia Sunyi Flores Sumba/Sabu Timor/Rote Alor) di Kupang membawakan workshop menulis cerita pendek pada satu kegiatan yang diselenggarakan satu lembaga, Arts for Women Indonesia yang ketuanya adalah kawan baik dari sang aktor.

img_20150816_190941

Semula saya tak berpikir bahwa akan ada aktor itu di sana. Jadi saya dengan santai dan tenang mengerjakan bagian saya. Sampai menjelang usai kegiatan, ketika dengan beberapa kawan di samping saya yang sementara memilah-milah karangan terbaik hasil workshop, dan saya mengangkat kepala sekadar untuk menarik napas. Ketika melihat ke arah pintu masuk, ada saya lihat satu sosok dengan tampang yang berbeda sendiri dari yang lain. Ia sementara duduk tegak menyamping dari arah pandang saya sambil mengobrol dengan beberapa orang di sana. Saya sempat berpikir sebentar mengingat-ingat siapakah gerangan orang tersebut, sebelum akhirnya saya lalu tercekat tiba-tiba. Omg, itu kan sang aktor idola. Saya seketika itu seperti lupa bagaimana cara bernapas.

Kawan-kawan yang duduk berdekatan dengan saya sampai kaget dengan ekspresi saya yang tak mereka duga sebelumnya. Kata mereka setelahnya, “Kau di kelas tampak begitu berwibawa sampai datang orang itu, Anaci.”

Ah, biarlah. 😀

Namanya juga didatangi tiba-tiba aktor idola. Sebenarnya semalam sebelumnya saya sempat mendengar bisik-bisik bahwa sang aktor akan datang. Tapi, yah, namanya kebiasaan saya kalau mendengar sesuatu yang sambil lalu, saya tidak pernah menaruh perhatian khusus. Jadi bisik-bisik yang sambil lalu sama sekali tak tersimpan di kepala. Tak ada pikiran saya sampai ke sana tentang sang aktor. Sudah. Titik. Semua berjalan baik di kelas sampai ketika setelah beberapa lama menunduk membaca beberapa cerpen karya kawan-kawan dan saya mengangkat kepala sebentar untuk sekadar mengambil napas itulah.

Selanjutnya oleh kawan-kawan saya yang baik hati lagi pengertian itu, saya ditepuk-tepuk pundaknya untuk kembali fokus kepada tugas saya yang belum selesai. Memilah karangan-karangan terbaik untuk diberikan cenderamata.

Seusai acara pemberian cenderamata. Oleh sang pemimpin penyelenggara kegiatan, sang aktor dipanggil dan dipersilakan membacakan salah satu cerpen yang ia pilih sendiri berlatar sabana dari buku kumpulan cerpen “Hari-hari Salamander” bagi peserta workshop–ingat, bagi peserta workshop, bukan pemateri ;). Waktu ia membaca, barulah saya tahu satu hal lagi tambahan, suaranya. Amboi, suaranya. Saya serupa mendengar suara malaikat utusan Tuhan yang begitu indah di telinga saya. Saya tak lagi hanya fokus pada rambut ikalnya seperti sewaktu saya melihatnya pertama kali. Kali ini level–begitu kata kawan saya seorang penulis juga–sang aktor meningkat. Tampakan dirinya dari jauh juga suaranya. Sayang sekali saking terpukaunya, saya lupa kalau harus merekam suaranya sewaktu membaca cerpen itu. Sayang sekali.

13112883_10206365846038807_3439331675290002765_o

Selesai ia membaca cerpen ia kembali ke kawan kami sang ketua penyelenggara kegiatan duduk. Saya kembali mengobrol dengan beberapa peserta workshop tentang cerpen-cerpen hasil karya mereka tadi. Tiba-tiba saya melihat kawan kami itu tangannya melambai ke arah saya sambil suaranya memanggil, “Anaci, sini.”

Segera saya hentikan obrolan kami, lalu beranjak ke arah mereka.

Saya tersenyum gugup.

“Nih, kenalin, Anaci, yang bawain workshop cerpen tadi,” kata kawan kami sang ketua penyelenggara kegiatan tersebut dengan santai.

Saya justru yang tidak santai.

“Oh, begitu.. Niko,” ia tersenyum dan mengulurkan tangan.

“Anaci,” saya menyambut tangannya dengan gugup. Saya tak yakin suara saya terdengar.

Diam sejenak setelahnya.

Mungkin kawan kami menangkap kegugupan saya, “Nah, Anaci, ceritain dong sama ka’ Niko, kamu dari mana, dari komunitas apa, bikin kegiatan apa-apa aja di sana.”

Waduh. Saya meringis dalam hati.

Sementara saya tak yakin suara saya akan terdengar normal.

Tapi karena menyadari ia sedang dalam sikap memandang saya seolah menunggu, saya pun mengeluarkan suara. Berusaha keras menunjukan ekspresi tenang dengan suara yang normal. Saya mengenalkan sedikit tentang Dusun Flobamora yang baru saja dengan dukungan Salihara menyelenggarakan festival sastra perdananya di Kupang, Festival Sastra Santarang. Seperti biasa ketika berinteraksi, dengan siapa pun saya akan melihat ke arah lawan bicara, dan tepat saat yang sama ia memang juga memang demikian. Dan astaga… lagi-lagi saya tercekat. Matanya yang dulu saya bilang kelam itu justru memikat sekali.  Di sini saya seperti melihat mata Tuhan. Mata Tuhan yang memandang dengan lembut, yang membuat sesuatu berpendar dalam diri saya.

Syukurlah, tak berapa lama momen itu, tiba-tiba datang beberapa peserta workshop meminta mengambil gambar bersamanya. Demikian disudahilah sedikit perbincangan yang saya sendiri pun seperti tidak sadar apa saja kalimat-kalimat yang sudah meluncur keluar dari mulut saya. Karena orang-orang memang sedang minta foto bersama, demikian saya pun dapat foto yang berdua.

img_20150821_203537
Salah satu foto di hari selanjutnya 🙂

Demikianlah kisah pertemuan dengan aktor kedua di hari pertama selesai.

(Bersambung) – cerita sambungannya adalah pada hari kedua dan hari ketiga inilah yang membuat saya seperti berasa kelu…  😉 :v 😀

Catatan:

* kakek

Satu tanggapan untuk “Dua Aktor Idola”

Tinggalkan komentar