Merayakan Keseharian

Kapsul 12: Selamat Ulang Tahun, Romo Amanche Frank @DusunFlobamora

Saya tak menerbitkan tulisan hari ini. Karena yang ada hanya foto-foto, maka saya arsipkan saja di sini. Kata orang, satu gambar seribu cerita, ya, mungkin itu sudah. Meski ini tak boleh menjadi alasan untuk saya malas menulis dan memajang saja foto-foto tanpa seleksi. 

Ok, jadi foto-foto ini di sini saja dulu. Mungkin bisa menjadi satu cerita kelak, tentang suatu hari di bulan Februari, tepatnya di hari ulang tahun Romo Amanche Frank, yang saat ini menjabat sebagai kepala SMP St Yoseph Naikoten Kupang, yang juga adalah seorang imam katolik di Kupang, yang juga adalah pendiri dan penanggungjawab Komunitas Sastra Dusun Flobamora, pelantun lagu ‘Adik Menangis Satu Malam‘ penulis buku ‘Pesona Flobamora’ dan ‘Humor Anak Timor‘, pengisi rubrik ‘Kusu-kusu‘, di Jurnal dan Majalah Santarang, dan mungkin masih ada beberapa sebutan-sebutan istimewa lainnya yang tak saya ketahui semua. 

Selamat ulang tahun, Romo Amanche. Teruslah menjadi terang bagi sesama. Tuhan memberkati.

Ini kami, beberapa dari anak-anak Dusun Flobamora😎😍😘😊😇 . 

God's Story, Kegiatan Seni dan Budaya, Merayakan Keseharian

Kencan Buku, Diskusi Sastra di TamNos, dan Sekilas tentang Oi

Sabtu, 14 Oktober 2017. Malam ini di tempat kencan buku Taman Nostalgia Kupang atau yang disebut TamNos sedikit berbeda. Selain digelar lapak baca gratis, ada juga diskusi tentang proses kreatif. Sebagai narasumber maka dihadirkan dua pekerja kreatif yakni Frater Deri Saba dan juga Pater Milto Seran.

Diskusi tepat dimulai pukul 08.03 wita. Dibuka Kak Gusti Fahik yang kemudian dimoderatori Kk Efry Tanouf. Sebagai pengantar, Deri Saba pun menjelaskan sedikit tentang latar belakang ia menulis, kenapa yang ditulisnya adalah cerpen, kenapa dan bagaimana proses sampai buku cerpen Ingatan adalah Belati itu jadi, dan tentang apa pula cerita-cerita yang ada di dalamnya. Demikianlah diskusi itu mengalir dan terus berlangsung diselilingi dengan beberapa tanya jawab juga masukan dari beberapa peserta yang hadir.

Kira-kira sejam lebih berlalu, diskusi dengan narasumber kedua pun berlanjut. Oleh moderator, Pater Milto Seran diperkenalkan sebagai seorang imam yang selama tiga tahun terakhir ini tinggal di Rusia😱😘 (Walau sekarang sudah tak begitu-begitu amat, tapi saya pernah memfavoritkan Rusia sebagai negara yang ingin saya pelajari bahasanya, datangi tempatnya, tinggal di sana, merasakan langsung kulturnya, bahkan kalau bisa dapat keluarga dari nama sana biar nama saya jadi ikut berubah sebab saya suka kerumitan ejaan nama orang-orangnya😄😅. Semua itu bermula dari cerpen dan novel para sastrawannya walau tahunya cuman Leo Tolstoy, Anton Chekov, dan Fyodor Dostoyevsky).
Pater Milto ini pum memulainya dengan mengatakan dirinya tidak datang untuk berbicara melainkan sebaliknya ingin belajar dari kawan-kawan pegiat literasi yang ada di Kupang. Kemudian ia pun mulai bercerita sedikit mengenai yang diketahuinya mengenai Rusia zaman sekarang dan dilanjutkan dengan tanya jawab terkait beda sastra Rusia saat ini dengan yang sudah biasa dikenal dunia.

Menanggapi salah satu pertanyaan mengenai sastra Rusia selain yang sudah beredar atau yang umum dikenal, Pater pun mengeluarkan satu buku berukuran kecil namun bersampul tebal dan bagus. Buku tersebut berisi kumpulan puisi Sergei Yesenin, seorang penyair Rusia. Puisi-puisi di sana tertulis dalam bahasa Rusia.

Baiklah, mari belajar puisi Rusia karya Sergey Yesenin yang dibacakan langsung dalam bahasa Rusia oleh Pater Milto Seran.

Berikut ini adalah puisi Sergey Yesenin dalam bahasa Rusia yang dibaca tadi.  Berikut pula adalah terjemahannya dalam bahasa Indonesia oleh orang yang sama tersebut😊.

Diskusi yang cukup serius itu terus berlanjut hingga kira-kira pukul 11 pm. Setelah itu diskusi bebas diberikan. Siapa yang mau lanjut bersama siapa bicara apa dipersilakan. Tidak lagi pakai moderator segala. Saya sendiri bergerombol dengan kawan-kawan Dusun bicara tentang sesuatu yang tentunya tak perlu saya beberkan di sini😄sebab cukup privat dan sangat penting.

Tak berapa lama kemudian bergabunglah salah seorang anggota Oi dari Alor. Oi adalah satu ormas yang ada di Indonesia, bermula dari para simpatisan atau penggemar (kalau benar sebutan saya) atau orang-orang muda lingkaran Iwan Fals, yang oleh Iwan Fals sendiri mereka dianggap sebagai anak-anaknya😊😘😚. Diskusi kecil-kecilan terjadi. Dari hasil sharing itu, dapat disimpulkan, kegiatan yang sudah mereka jalankan kurang lebih tujuh bulan itu sangat inspiratif dan membangun. Walau di Alor yang adalah kabupaten dibanding Kupang yang adalah ibukota provinsi, gerakan mereka sungguh luar biasa, sangat patut diapresiasi, juga diteladani. Salah satu motto atau slogan mereka yang saya ingat adalah SOPAN. Seni, Olahraga, Pendidikan, Akhlak, dan Niaga, adalah bidang-bidang yang ingin mereka garap. Mantap, semua bidang-penting mereka perhatikan. Kalau dilihat dari kacamata penilaian sekolah semua ranah terangkum sudah. Kognitif masuk, psikomotor masuk, afektif masuk. Komplit 👍👏.

Salam kenal untuk, OI👌👏👊. Selamat berkarya demi kemajuan bangsa💪, demi Indonesia💪🙏😇 .

God's Story, Merayakan Keseharian

Sabtu Bahagia😇

Sabtu, 7 Oktober 2017, telah dengan resmi dibuka Kampung Literasi yang bertempat di SMPN 16 Kupang. Sebuah kegiatan positif yang patut diapresiasi👏👏. Kegiatan ini mendatangkan Jurnalis Tempo, Bapak Mustafa Ismail, serta Ibu Mezra E Pellondou, penggagas dan pendiri UKIM.

Saya tidak mengikuti kegiatannya secara keseluruhan. Soalnya rencana awal memenuhi undangan kegiatan ini pun sekaligus saya mau bertemu kawan baik saya, Lala, yang adalah juga alumni UPH dan pernah kami bersama-sama di Lentera sebelum ia mengikuti daddy-nya tes PNS/ASN dan lulus hingga ditempatkan di sekolah ini. Sejak ia pindah kami jarang bertemu maka itulah momen ini sekalian dimanfaatkan😀😄😅. Jadilah di tengah-tengah kegiatan saya pergi bertemu dengannya dan ditraktir makan di kantin sekolah mereka😄.

Seusai acara pembukaan, sebelum kelas menulisnya dimulai, para undangan diajak menikmati suguhan dari Kafe ala SMPN 16 Kupang😊.

 

Sementara di halaman sekolah, kawan-kawan dari Komunitas Sastra Dusun Flobamora menggelar berbagai buku bacaan untuk boleh dipinjam dan dibaca gratis. Ada buku-buku baik dari Dusun Flobamora, atau milik pribadi sebagian anggota seperti Romo Amanche, Mas Abu, Bang Abdul, dll.

Kira-kira sejam kemudian, ketika saya dan kawan-kawan Dusun menyusul ke aula, kelas menulis sudah dimulai. Kami hanya mengamati dan mengikuti dari belakang. Hanya sebentar saya di sana sebab saya mesti pamit pulang.

Melanjutkan agenda hari Sabtu siang yang sudah direncanakan. Memulai satu langkah baru. Mempraktekkan apa yang sudah diajari Pak Haryadi kurang lebih sebulan lalu. Belajar bertanam hidropnok.

Ada juga beberapa buku terbitan Momentum (sedikit promosi, ini penerbit buku-buku Kristen terpercaya😊) yang dikeluarkan Ibu Endang dan ditawarkan mau dijual ke anggota Persekutuan Reformed Kupang (PRK) saja dulu yang nanti uangnya semua disumbangkan untuk kebutuhan pelayanan di PRK.

Malamnya, seperti biasa di TamNos, kawan-kawan yang bergerak di pustaka jalanan, begitu mereka menyebutnya😄, ada dari Leko Pustaka, Dusun Flobamora, ada juga kadang dari Secangkir Kopi, Buku bagi NTT, Tas Pustaka, dll yang dengan berbagai nama walau sebenarnya orang-orang di dalamnya sebenarnya sama, menggelar buku-buku tepat di bawah tangga TamNos untuk dibaca siapa saja. Kegiatan itu dinamai Kencan Buku.  

Kencan buku itu sudah berlangsung selama empat minggu (artinya sudah 4 x berjalan di tiap hari Sabtu malam). Kegiatannya dimulai sore hingga katanya sampai bosan walau selama ini paling juga usai di pukul 23 atau 24.

Dari pertama kali buka hingga yang kemarin, baru pertama kali hujan turun sementara orang sedang asyik membaca. Padahal malam kemarin, kita sedang menerima tamu. Tamunya, ya, jurnalis Tempo, Pak Mustafa Ismail, yang jadi narasumber di SMPN 16, Ibu Mezra Pellondou, juga Pak Benny Mauko, kepsek SMPN 16 yang tentu harus mendamping sang tamu dari Tempo, datang menyambangi kami di TamNos.

Penyerahan buku dari Bapak Mustafa untuk Dusun Flobamora🙏

Baru saja mereka datang beberapa menit, titik-titik hujan pun turun menyapa lembaran-lembaran buku yang sedang dibaca dan sampul-sampul buku yang sedang digelar. Serempak semua orang yang ada di tempat kencan buku itu bergerak kilat meraup buku-buku untuk dimasukkan dalam kotak kardus. Jelas kardus tidak tahan air. Maka dibungkuslah kardus-karsus itu dengan bekas spanduk milik SMPK St Yoseph yang dipakai menggelar buku. Dengan segera buku-buku itu dilarikan ke rumah Bapak Thea (bapak yang putranya bernama Thea😄) yang tak jauh dari situ.

😱😄😅😂

Semuanya sibuk menggendong buku, tas, kardus, dan spanduk menuju rumah Bapak Thea sampai-sampai melupakan ke mana para tamu mencari tempat berteduh. Lokasi sekitar TamNos yang biasanya banyak orang berseliweran langsung jadi sepi. Beberapa mencari tempat berteduh di bawah pohon di pinggir jalan, sebagian besar menuju tempat penjual salome. Ternyata di sanalah para tamu kami berteduh sementara. Dengan segera mereka bergabung bersama kami menuju tempat Bapak Thea.
Setiba kami di tempat Bapak Thea, kami atau sebenarnya saya sendiri kali ya😄, agak sungkan bagaimana mengajak para tamu untuk masuk karena saya sendiri baru juga di sana. Jadilah kami yang lain berdiri di luar di depan kios sambil kawan-kawan lain memilah-milah buku tanggung jawab masing-masing.

Sampai beberapa lama kemudian, diajaklah kami masuk ke, katanya itu tempat meeting para penghuni penginapan. Menurut yang saya lihat, tempat itu lumayan bagus dan tenang untuk berdiskusi.

Di situlah diskusi yang hidup berlangsung. Senang saya mengikuti diskusi semacam itu. Ada orang baru datang dengan pengalamannya untuk berbagi dan dengan orang-orang lain ia mau untuk saling bertukar pikiran. Walau saya lebih ke menjadi pendengar, itu bukan masalah sebab saya lebih suka memerankan bagian itu 😄.

Cukup. Mungkin ini saja. Awalnya saya buka wordpress hanya untuk memahatkan foto-foto dengan keterangan (caption) masing-masing.  Tapi jadinya malah cerita panjang. Sudahlah. Akui dan terima sajalah apa yang sudah terjadi. Btw, Terima kasih untuk gerimis yang mengusir kami dari TamNos sehingga bisa ada semacam kelas diskusi yang lebih tenang dibanding di TamNos dengan orang-orang yang berlalu-lalang😄😊.

Merayakan Keseharian

Kawan jadi Saudara

Namanya Ria. Cukup begitu saja disebut. Kami baru berkenalan setahun lalu😄. Tapi, seperti yang pernah dituliskan ada satu kawan lain di satu postingan facebook tentangnya, rasanya pertemanan ini sudah seperti seabad😄😅. Perkenalan kami bermula dari Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Intens berlanjut karena hampir setiap minggu ada kelas diskusi di Dusun Flobamora yang sementara ini bermarkas di SMPK St Yoseph Naikoten, Kupang.

Ia orang Nagakeo dan tinggalnya di Ende, walau banyak yang ketika pertama kali bertemu mengira ia orang Bugis atau Jawa atau Mataram. Ia penyuka K-Pop, band-band indie, film-film berkelas yang tak banyak ditonton orang-orang, penggemar berat beberapa penulis Indonesia yang sementara bersinar gemilang sekarang namun tak perlu saya sebutkan nama-namanya😄. Ada satu hal, dari dialah saya jadi lebih tahu siapa dan seperti apa itu SNSD serta juga seseorang bernama Changmin😄.

Postingan ini singkat saja. Memang tidak sedetail-detailnya cerita kami disiarkan di sini. Intinya adalah saya hanya ingin memahatkan momen kebersamaan kami seminggu lebih ini😄. Momen bersama kawan yang sudah jadi saudara😀😊😚.

God's Story, Kegiatan Seni dan Budaya

Awal Mula Ikut Serta MIWF 2017

logoheader
Sumber: MakassarWriters

MIWF adalah satu festival sastra tahunan yang ada Indonesia sejak tahun 2011. MIWF sendiri adalah singkatan dari Makassar International Writers Festival. Awal mula saya mendengar dan mengetahui MIWF ketika pada tahun 2013 ada beberapa kawan penulis dari NTT, sesama anggota Komunitas Sastra Dusun Flobamora terpilih sebagai emerging writers (EW) dan diundang ke sana. Mereka di antaranya Mario F Lawi, Christian Dicky Senda, dan Amanche Frank. Hanya saja waktu itu saya kurang punya keinginan untuk tahu lebih lanjut tentang MIWF. Di tahun 2014, ada lagi satu anggota Dusun Flobamora yang terpilih, Saddam HP. Disusul tahun 2015, dua orang lagi terpilih, mereka adalah 2F (versi saya ;)), Anastasia Fransiska Eka dan Felix Nesi.

Sampai saat itupun saya belum terpikirkan untuk nanti ikut mengirimkan karya saya tahun berikutnya kalau-kalau juga bisa masuk. 😀 Entahlah, belum merasa terpanggil barangkali. Ketika keluar pengumuman untuk seleksi karya taun 2016, saya masih saja mengganggapnya tidak serius. Tak ada persiapan. Dikirimi SMS dan pesan via messenger bahkan ditanyai dan dianjurkan oleh kawan dari Lentera yang mengetahui MIWF ini, saya akhirnya untuk menghargai undangan dan anjuran mereka, saya kirimkan saja beberapa cerpen yang ada tanpa banyak berharap. Saya melupakannya setelah itu.

Ketika pengumuman hasil seleksi emerging writers MIWF 2016 keluar, itupun saya lupa kalau saya pernah ikut mengirimkan karya, sampai ada satu catatan kecil dari salah satu alumni EW, Kak Dicky Senda yang membagikan pengumuman itu, bahwa berturut-turut sejak tahun 2013, 2014, 2015, dari NTT selalu ada yang lolos seleksi EW MIWF, dan baru kali inilah di tahun 2016 tiada seorang pun yang mewakili NTT. Catatan itu sederhana, tidak bernada keluhan atau negatif lainnya. Saya saja yang sewaktu membaca catatan kecil pengiring pengumuman itu tiba-tiba baru teringat kalau saya pun sebenarnya pernah ikut mengirimkan, dan juga tersadar kalau cerpen yang saya kirimkan pun hanya asal-asalan. Saya jadi merasa bersalah dan menyadari betapa tidak bertanggungjawabnya saya. Sedih jadinya. Dari situlah saya berjanji kepada diri saya sendiri, persiapkan diri untuk ikut mengirimkan karya tahun depan. Lolos atau tidak pun, paling tidak saya sudah lebih sungguh mempersiapkan karyanya jauh-jauh hari. Beruntungnya juga, di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, ada kelas setiap minggu, membahas baik cerpen, baik puisi, dan tulisan kreatif lainnya. Kelas minggunan itu cukup memberi saya banyak kemajuan  untuk memperbaiki cerpen-cerpen saya sebelumnya.

Dalam proses waktu bergulir, saya sempat lupa mau saya apakan cerpen-cerpen itu. Hingga kemudian datang kabar, ada lagi pembukaan seleksi EW MIWF tahun 2017, bahkan di kelas Dusun Flobamora pun sering dibicarakan, dan oleh kawan-kawan saya didorong untuk ikut mengirim. Di luar itu, saya pikir saya sudah jauh lebih siap untuk mengirim. Anehnya, cerpen dan segala kelengkapan yang diminta walau sudah siap tidak segera saya kirim. Alasannya cukup sepele, agak takut-takut. Saya baru mengirimnya beberapa hari sebelum tanggal penutupan. Itupun atas peringatan seorang kakak yang menjadi pembimbing kami di kelas Dusun Flobamora, Mas Abu Wibisana, “Anggap saja batas pengirimannya adalah beberapa hari sebelumnya. Jangan sampai terjadi kesalahan teknis di hari dead line sehingga karya yang sudah jadi malah tak bisa terkirim,” katanya.  Maka terjadilah sesuai yang disarankan. 😀

Berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini saya mengirim lalu tidak segera melupakan walau tidak terus-terusan juga saya mengingatnya. Mendekati hari pengumuman, saya tahu bahwa akan ada pengumuman seleksi EW MIWF karena saya menandainya di kelender. Namun bertepatan di hari pengumuman, saya lumayan sibuk karena terlibat dalam kegiatan paskah dari GRII. Sampai larut malam, saya tak sempat menengok email atau media sosial untuk mengetahui hasil seleksi itu. Barulah keesokan paginya ketika saya bangun, sesudah mengaktifkan paket data, barulah masuk pesan-pesan terkait lolosnya saya sebagai salah satu peserta Emerging Writers MIWF 2017.

Emerging Writers MIWF 2017
Sumber: twimgmiwf17

Antara percaya dan tidak, sebab saya baru saja bangun tidur. Walau masih pagi-pagi subuh, kabar bahagia ini tentu saja membuat saya harus berseru kaget, melompat turun dari tempat tidur dan langsung terduduk di lantai. Mata saya berasa panas dan basah. 😀 (saya mengakui saja apa yang benar terjadi). Rupanya seruan kaget saya membuat adik saya ikut pula terkejut. Tergopoh ia datang menengok. Ia mengira saya baru saja melihat ular atau tikus atau serangga bermata besar apa. Saya tidak peduli. Saya tunjukkan padanya pesan dengan brosur di atas. Ia kelihatan bingung. Peduli amat.

Saya lagi senang. Kau mengerti saja. Begitu saya bilang.

Ia masih saja belum mengerti.

Saya akan ke Makassar. Saya melanjutkan.

Kok bisa?

Saya lolos seleksi menulis.

Oh, lalu kapan ke Makassar?  Ia sudah mulai mengerti situasi.

Bulan Mei nanti.

Baiklah, bagus sudah, katanya lalu berbalik pergi.

Saya melanjutkan keasyikan saya memelototi nama-nama yang tertera di gambar itu. Hanya ada satu nama yang saya kenal. Kak Maria Pankratia. Ia juga orang NTT, dari Ende, tempat saya pernah mengikuti kegiatan Temu II Sastrawan NTT. Kak Maria juga salah satu anggota Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Saya senang juga bangga. Tepat seminggu sebelumnya, tanggal 11 April, hari istimewa saya (♥ 🙂) tak sengaja kami bertemu di sebuah jajaran depot makan. Mungkin itu salah satu pertanda kami akan bertemu lagi di ajang MIWF. Saya menganggap itu sebuah kado istimewa dari Tuhan. Sungguh seperti itulah yang memang pada dasarnya saya harapkan. Daripada mendapat kado dari manusia, adalah lebih berharga kado langsung dari Tuhan. Istimewa yang benar-benar istimewa bukan? 😀

Terima kasih kepada Sang Penyelenggara Kehidupan. 🙂

 

Kegiatan Seni dan Budaya

Panggung Perempuan Biasa

Sabtu, 16 Juli 2016, tanggal yang cantik sekaligus menjadi hari istimewa bagi Perempuan Biasa. Di tanggal yang cantik ini, mereka menghadirkan panggung khusus perempuan bagi para penikmat seni dan sastra yang ada di Kupang.

perempuan-biasa2

Sebutan ‘Perempuan Biasa’ sendiri bermula dari sebuah judul monolog karya Abdi Keraf, disutradarai Lanny Koroh, dan dipentaskan Linda Tagie dalam acara “Kupang Pesta Monolog” pada bulan Maret 2016. Selanjutnya di bulan Mei, monolog Perempuan Biasa bersama Tubuh yang Palsu dari penulis yang sama dengan disponsori Taman Dedari Sikumana, diadakanlah pementasan Tour de Floresta, berturut-turut mengelilingi kota Maumere, Larantuka, Lembata, dan berakhir di Kupang. Tak berakhir hanya di sana, sebuah panggung khusus perempuan pun digagas. Maka menjadilah di Sabtu, 16 Juli 2016,  momentum Perempuan Biasa kembali bergaung di Kupang, NTT.

Mengusung tema “Panggung Perempuan Biasa, para perempuan baik perempuan NTT maupun luar NTT diberikan panggung istimewa untuk bedah buku dan pementasan seni. Acara bedah buku diadakan pukul 10.30 bertempat di SMP St Yoseph Kupang. Buku yang dibedah adalah karya seorang penulis perempuan Bali, Sri Jayantini, berjudul Bunga Perjalanan, sebuah kumpulan puisi dan prosa.

Bersama dua rekan lainnya Kaka Monika Arundhati dan Ibu Santri Djahimo, seorang dosen Bahasa Inggris dari Undana, kami yang adalah perempuan biasa (benar-benar biasa saya bilang, sebab contohnya saya sendiri walau suka dengan kegiatan baca tulis tapi diri ini sendiri pun belum pernah punya pengalaman membedah buku orang lain. Paling hanya pernah mengikuti acara bedah buku orang lain, itupun sebagai peserta atau penonton), diminta dan dipercayakan ambil bagian dalam bedah buku tersebut yang alhamdulillah berjalan baik. (Mungkin rangkuman pembedahan buku ada bagian tersendiri di Catatan Buku). Dihadiri kurang lebih 50-an orang, bedah buku disertai tanya jawab dan diskusi berlangsung hangat dan seru.

13723886_936570169822902_8705708169217603201_o
Sumber:Dok Perempuan Biasa

Sebelumnya, sebelum acara bedah buku dimulai maksudnya, sempat ada pengalungan salendang penyambutan dari sang tuan rumah, kepsek SMP St Yoseph sekaligus koordinator Dusun Flobamora, Romo Amanche Frank untuk kedatangan sang penulis perempuan Bali, Ibu Sri Jayantini juga kepada sang ibu dosen yang menjadi salah satu pembedah, Ibu Santri Djahimo.

Dilanjutkan pada malam hari, pukul 06.00, bertempat di Taman Dedari Sikumana, pementasan seni “Panggung Perempuan Biasa” dibuka. Ucapan salam penyambutan dan terima kasih dihaturkan koordinator Perempuan Biasa kepada para guest star baik yang dari Bali maupun Maumere, Lembata, dan komunitas di luar Perempuan Biasa. Dari Bali, hadir Ibu Sri Jayantini yang pagi harinya bukunya dibedah, dan Kaka April Artison yang ketika di atas panggung tampil memukau dalam monolog Pidato Tujuh Menit namun yang saya salut adalah ia berkali-kali mengenalkan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Berikut dari Maumere, Komunitas Sastra Kahe tampil membawakan teater berjudul Du’a Buhu Gelo atau yang berarti Perempuan Kentut Kemiri.

13726751_1236254166399048_4733074006768862398_n
Sumber: Dok Perempuan Biasa, Foto Bedi Roma

Di luar Perempuan Biasa, ada juga mereka dari Komunitas hip-hop United of EX sebagai pembuka malam “Panggung Perempuan Biasa”. Tak lupa pula kepada pemetik sasando yang manis nan imut, Nona Virginia, seorang siswi SMP St Yoseph Kupang, membawakan lagu Mai Fali e… dan Haleluya.

Dari Perempuan Biasa sendiri, selain tiga buah tarian daerah NTT, sebuah puisi Perempuan dalam Doa oleh Febtian Candradevi Nugroho serta dua monolog dihadirkan kepada penonton diselingi tarian daerah dan sasando.

Monolog Perempuan Paling Bahagia dari Perempuan Biasa benar-benar menegaskan, saya perempuan biasa yang paling bahagia bisa menyaksikan pementasan seni “Panggung Perempuan Biasa” di malam istimewa tersebut. Kolaborasi yang indah dan megah antara penulis naskah Linda Tagie, sutradara Lanny Koroh, aktris Santji Muskanan, yang sempat saya dengar kata orang ia sudah nyaris sekelas Happy Salma, serta kru pendukung lain seperti Kaka Elin Taopan di bagian soundtrack, dan mereka yang lain di belakang layar cukup membuat saya nyaris tak bernapas hingga saya sadar saya baru menarik napas ketika sang aktris menyudahi monologianya yang keren atau yang orang Kupang bilang ‘babatu mangan‘.

Demikian juga ketika Perempuan Rembulan karya Yahya Ado yang dipentaskan Linda Tagie. Kisah tentang kehidupan seorang perempuan yang ketika mendapati suaminya ‘menyeleweng’, tak bisa berbantah banyak, ia pun memutuskan hijrah ke negeri orang, tekawe. Di sana baru didapatinya satu penyakit telah menggerogotinya sejak ia masih bersama sang suami. HIV/Aids sudah mendekam lama dalam tubuhnya sementara selama ini ia tak pernah berhubungan dengan seorang laki-laki mana pun. Lagi-lagi, entahkah ini mau disebut pengorbanan ataukah pembodohan ataukah pembiaran ataukah ketakpedulian ataukah penindasan ataukah kelaliman ataukah kekejaman ataukah kekurangajaran ataukah atau yang lainnya.

Kalau di sesi diskusi sempat saya dengan lontaran kalimat dari seorang komentator atau mau kalau boleh disebut kritikus ketika mengomentari penampilan April Artison dalam ngalor ngidul Pidato Tujuh Menit yang mengisahkan tentang pengabdian bertahun-tahun seorang guru honorer, bahwa tugas seni adalah menggugah, maka benarlah di malam pementasan seni “Panggung Perempuan Biasa” ini, saya tergugah akan sesuatu.

Terima kasih “Panggung Perempuan Biasa”. Telah engkau hadirkan panggung ‘sakral’ khusus perempuan untuk Kota Karang. Sekali lagi, sujud syukur dan kagum saya kepada Dia Sang Penyelenggara Kehidupan. Karena Dia dan untuk Dia pula, saya ingin menyampaikan salam salut penuh hormat saya kepada Kaka Lanny Koroh yang tergerak menyelenggarakan kegiatan ini, juga tak lupa kepada semua yang sudah terlibat. 🙂 :3

Kupang,  17 Juli ’16

13754650_1236253949732403_3131672240899387180_n
Sumber: Dok Perempuan Biasa, foto Bedi Roma
Tokoh Idola

Dua Aktor Idola

Kalau saya ditanya–walau mungkin saja tak akan pernah ada orang yang mau bertanya tentang hal ini–Siapa aktor idola anda, aktor Indonesia maksudnya? Maka akan saya jawab, “Sejak kecil, aktor Indonesia yang saya idolakan hanya dua orang. Christian Sugiono dan Nicholas Saputra.” Kebetulan juga ba’i* kandung saya dari pihak bapak namanya Kristian, plus ipar sulungnya bernama Nikolas.

2799960572_1a8f67e2e520150813_151811

Pertama kali melihat kedua aktor ini, saya seperti kena setrum tiba-tiba. Saya biasa lebih dulu mengetahui nama dan foto mereka pertama kali halaman koran yang meliput khusus tentang selebriti, barulah di tivi ketika tampang orang itu terlihat barulah saya ingat, oh ini orang yang pernah saya lihat di koran.

Aktor pertama, karena ketika pertama lihat fotonya, saya langsung menyukai lesung pipinya dan matanya yang keren–karena saya pun meyakini saya punya lesung pipi dan mata yang mirip dengannya. Aktor kedua karena saya suka rambut ikalnya, karena rambut saya pun ikal yang mirip-mirip. Aktor kedua ini pun mendapat porsi lebih karena perannya di film AADC itulah, ia serupa sosok misterius dengan tatap matanya yang seolah tersimpan sebuah kelam 🙂

Di kemudian hari, bertahun-tahun mengidolakan mereka, saya pun terbawa saja–yang saya percayai atas pimpinan Tuhan–akhirnya bisa bertemu langsung dengan mereka. Baru saya dapati tak tahunya ternyata dua orang ini punya kemiripan.  Ternyata selain di dunia entertain mereka juga entah terseret entah memang juga punya minat di situ, rupanya kedua orang ini ada keterkaitannya dengan dunia tulis-menulis–begitulah saya menyebutnya, selain di kemudian hari ternyata kawan main peran sang aktor kedua di AADC menjadi istri aktor pertama.

Aktor pertama, CS saya melihatnya pertama kali di UPH, Lippo Karawaci. Waktu itu Festival Penerimaan Mahasiswa Baru (welcoming new students)–tahun berapa saya agak lupa. Dia salah seorang narasumber dalam satu diskusi. Topik diskusinya benarnya saya agak lupa. Hanya seingat saya ia menyebut-nyebut tentang ‘wikipedia’. Kalau tak salah ia sempat mengatakan ia bekerja di Wikipedia atau seorang penulis lepas atau kontributor atau apalah istilahnya di Wikipedia–ternyata setelah mencoba mengecek di internet, barulah saya dapat info jelasnya CS waktu itu adalah duta Wikipedia Indonesia.

2802557198_7fbcf88501

Diskusi itu berlangsung di Cafe of Art UPH yang satu gedung dengan kantin kampus, Food Junction. Jadi tak sengaja waktu saya dan kawan saya pergi mengambil makan siang, tepat di lantai dasar ketika melewati Cafe of Art, saya melihat ada deretan kursi tersusun rapi dan beberapa orang sementara duduk menyimak. Ketika saya menoleh ke arah panggung, baru saya tahu. Ada CS ternyata di sana.

Keberadaanya memang tak begitu menarik perhatian, sebab di samping kiri kanan panggung, banyak berlalu-lalang para mahasiswa yang keluar masuk kantin. Selain mungkin karena tampang para aktor/aktris di sini tak beda-beda jauh dengan para mahasiswanya, dan banyak sudah para mereka (pekerja seni) yang juga adalah bagian dari kampus ini, atau juga sering diundang manggung di sini. Jelaslah kedatangan CS itupun menjadi sesuatu yang biasa, membuat saya yang awalnya sumringah mengetahui keberadaannya di kampus pun ikutan merasa biasa.

2801664351_8858eb951e

Pada kawan, saya berbisik, “Itu aktor idola saya dulu.”

Ia tertawa sebentar, “Terus, sekarang tidak lagi?”

Tanggapannya saya sambut dengan ketawa pula.

Sang kawan saya ajak ikut berdiri sebentar mendengarkan kira-kira apa yang sedang ia bicarakan. Sebentar saja kawan saya sudah bosan karena itu tentang menulis. Ia memang tak begitu tertarik dengan dunia-menulis.

Ia mengajak lanjut mengambil makan siang yang saya tangguhkan, “Duluan saja, saya belum lapar. Nanti baru saya nyusul.” Padahal sebenarnya perut saya pun sementara keroncongan.

Ketika kawan saya naik ke lantai atas–tempat makanan kami ada di lantai atas–saya segera mencari tempat duduk untuk ikut mendengarkan pemaparannya tentang penulisan di wikipedia. Diskusi itu di ruangan terbuka sehingga siapa saja bisa mengikutinya. Kebetulan juga peserta yang mendengarkan pemaparannya tidaklah banyak. Banyak kursi yang tak diduduki.

Saya mengikuti sampai selesai. Bahkan sampai sesi tanya jawab walau sekarang kalau kau tanyakan pada saya apa materinya dan apa-apa saja yang didiskusikan jelas saja saya sudah lupa, karena waktu itu mungkin saya lebih fokus pada lesung pipi sang aktor, cara ia menatap para audience, dan ternyata suaranya juga bukan main kerennya. 😀

Hanya begitu saja kisah pertemuan saya dengan aktor idola pertama. Dia berbicara di atas panggung sana dan saya hanya seorang mahasiswi semester awal-awal yang tidak populer sama sekali, yang duduk di bangku peserta sambil mengagumi dari jauh. Dalam hati saya salut benar. Betapa keren ia yang sudah tampangnya rupawan juga mau terjun di dunia tulis-menulis. Pikir selama ini para artis hanya mengandalkan tampang fisik. Dan ini, sudah bertampang keren, pintar pula. Entahlah terserah apa yang kau pikir, tapi pintar versi saya adalah mereka yang ikut ambil bagian dalam dunia tulis-menulis. Entah terlibat langsung atau sebagai apresiator.

Waktu itu, sebagai mahasiswa kere yang tak punya HP kamera jelas saja tak ada fotonya yang sempat saya abadikan (Sumber foto CS dalam tulisan ini pun baru saya ambil dari sini, sepertinya diupload anak UPH juga yang waktu itu hadir). Saya hanya mengamati dari jauh ketika mereka foto bersama narasumber dan moderator atau MC. Tak ada yang heboh di antara para peserta diskusi meminta foto. Tak ada sama sekali.

Usai sesi foto, ditemani beberapa orang mungkin panitia festival, CS menikmati makanannya di kantin kampus lantai dasar. Melihat mereka makan, saya pun segera naik ke lantai atas mengambil ransum makan siang saya.

Berbeda dengan aktor pertama, kali ini pertemuan dengan aktor kedua justru meninggalkan kesan tersendiri. 😉 🙂 Pertemuan kami bukanlah di area kampus elite nan mentereng yang menjadikan keberadaannya tampak biasa di antara seribu rupa manusia yang mirip-mirip. Kali ini pertemuannya dibungkus sabana yang membentang luas dan pemandangan yang serba lepas. Sumba, NTT.

Feel-nya beda,” komentar seorang kawan saat mendengar cuplikan cerita pengalaman saya selang beberapa hari kemudian ketika kembali ke Kupang.  “Dibanding UPH.”

Pertemuan ini pun masih berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Waktu itu sungguh saya merasa terhormat diberi kepercayaan dari kawan-kawan Komunitas Sastra Dusun Flobamora  (Dunia Sunyi Flores Sumba/Sabu Timor/Rote Alor) di Kupang membawakan workshop menulis cerita pendek pada satu kegiatan yang diselenggarakan satu lembaga, Arts for Women Indonesia yang ketuanya adalah kawan baik dari sang aktor.

img_20150816_190941

Semula saya tak berpikir bahwa akan ada aktor itu di sana. Jadi saya dengan santai dan tenang mengerjakan bagian saya. Sampai menjelang usai kegiatan, ketika dengan beberapa kawan di samping saya yang sementara memilah-milah karangan terbaik hasil workshop, dan saya mengangkat kepala sekadar untuk menarik napas. Ketika melihat ke arah pintu masuk, ada saya lihat satu sosok dengan tampang yang berbeda sendiri dari yang lain. Ia sementara duduk tegak menyamping dari arah pandang saya sambil mengobrol dengan beberapa orang di sana. Saya sempat berpikir sebentar mengingat-ingat siapakah gerangan orang tersebut, sebelum akhirnya saya lalu tercekat tiba-tiba. Omg, itu kan sang aktor idola. Saya seketika itu seperti lupa bagaimana cara bernapas.

Kawan-kawan yang duduk berdekatan dengan saya sampai kaget dengan ekspresi saya yang tak mereka duga sebelumnya. Kata mereka setelahnya, “Kau di kelas tampak begitu berwibawa sampai datang orang itu, Anaci.”

Ah, biarlah. 😀

Namanya juga didatangi tiba-tiba aktor idola. Sebenarnya semalam sebelumnya saya sempat mendengar bisik-bisik bahwa sang aktor akan datang. Tapi, yah, namanya kebiasaan saya kalau mendengar sesuatu yang sambil lalu, saya tidak pernah menaruh perhatian khusus. Jadi bisik-bisik yang sambil lalu sama sekali tak tersimpan di kepala. Tak ada pikiran saya sampai ke sana tentang sang aktor. Sudah. Titik. Semua berjalan baik di kelas sampai ketika setelah beberapa lama menunduk membaca beberapa cerpen karya kawan-kawan dan saya mengangkat kepala sebentar untuk sekadar mengambil napas itulah.

Selanjutnya oleh kawan-kawan saya yang baik hati lagi pengertian itu, saya ditepuk-tepuk pundaknya untuk kembali fokus kepada tugas saya yang belum selesai. Memilah karangan-karangan terbaik untuk diberikan cenderamata.

Seusai acara pemberian cenderamata. Oleh sang pemimpin penyelenggara kegiatan, sang aktor dipanggil dan dipersilakan membacakan salah satu cerpen yang ia pilih sendiri berlatar sabana dari buku kumpulan cerpen “Hari-hari Salamander” bagi peserta workshop–ingat, bagi peserta workshop, bukan pemateri ;). Waktu ia membaca, barulah saya tahu satu hal lagi tambahan, suaranya. Amboi, suaranya. Saya serupa mendengar suara malaikat utusan Tuhan yang begitu indah di telinga saya. Saya tak lagi hanya fokus pada rambut ikalnya seperti sewaktu saya melihatnya pertama kali. Kali ini level–begitu kata kawan saya seorang penulis juga–sang aktor meningkat. Tampakan dirinya dari jauh juga suaranya. Sayang sekali saking terpukaunya, saya lupa kalau harus merekam suaranya sewaktu membaca cerpen itu. Sayang sekali.

13112883_10206365846038807_3439331675290002765_o

Selesai ia membaca cerpen ia kembali ke kawan kami sang ketua penyelenggara kegiatan duduk. Saya kembali mengobrol dengan beberapa peserta workshop tentang cerpen-cerpen hasil karya mereka tadi. Tiba-tiba saya melihat kawan kami itu tangannya melambai ke arah saya sambil suaranya memanggil, “Anaci, sini.”

Segera saya hentikan obrolan kami, lalu beranjak ke arah mereka.

Saya tersenyum gugup.

“Nih, kenalin, Anaci, yang bawain workshop cerpen tadi,” kata kawan kami sang ketua penyelenggara kegiatan tersebut dengan santai.

Saya justru yang tidak santai.

“Oh, begitu.. Niko,” ia tersenyum dan mengulurkan tangan.

“Anaci,” saya menyambut tangannya dengan gugup. Saya tak yakin suara saya terdengar.

Diam sejenak setelahnya.

Mungkin kawan kami menangkap kegugupan saya, “Nah, Anaci, ceritain dong sama ka’ Niko, kamu dari mana, dari komunitas apa, bikin kegiatan apa-apa aja di sana.”

Waduh. Saya meringis dalam hati.

Sementara saya tak yakin suara saya akan terdengar normal.

Tapi karena menyadari ia sedang dalam sikap memandang saya seolah menunggu, saya pun mengeluarkan suara. Berusaha keras menunjukan ekspresi tenang dengan suara yang normal. Saya mengenalkan sedikit tentang Dusun Flobamora yang baru saja dengan dukungan Salihara menyelenggarakan festival sastra perdananya di Kupang, Festival Sastra Santarang. Seperti biasa ketika berinteraksi, dengan siapa pun saya akan melihat ke arah lawan bicara, dan tepat saat yang sama ia memang juga memang demikian. Dan astaga… lagi-lagi saya tercekat. Matanya yang dulu saya bilang kelam itu justru memikat sekali.  Di sini saya seperti melihat mata Tuhan. Mata Tuhan yang memandang dengan lembut, yang membuat sesuatu berpendar dalam diri saya.

Syukurlah, tak berapa lama momen itu, tiba-tiba datang beberapa peserta workshop meminta mengambil gambar bersamanya. Demikian disudahilah sedikit perbincangan yang saya sendiri pun seperti tidak sadar apa saja kalimat-kalimat yang sudah meluncur keluar dari mulut saya. Karena orang-orang memang sedang minta foto bersama, demikian saya pun dapat foto yang berdua.

img_20150821_203537
Salah satu foto di hari selanjutnya 🙂

Demikianlah kisah pertemuan dengan aktor kedua di hari pertama selesai.

(Bersambung) – cerita sambungannya adalah pada hari kedua dan hari ketiga inilah yang membuat saya seperti berasa kelu…  😉 :v 😀

Catatan:

* kakek