God's Story, Merayakan Keseharian

Kita Hanyalah Pelakon Cerita Tuhan

Hari ini pun tiba. Ia yang cerita hidupnya tak kalah seru dari saya (berasa sendiri cerita hidup saya seru ๐Ÿ˜‰๐Ÿ˜ƒ) akhirnya menjalani sidang atau ujian skripsi. Dengan demikian, selesailah sudah masa kuliah S1-nya dengan selamat. Syukur kepada Allah. Semua jelas semata-mata karena Anugerah-Nya (kayak keselamatan saja pake hanya ‘semata-mata’๐Ÿ˜‰)

Lima tahun lalu, tepat akhir November 2012, ia pernah menangis di pelataran SD Lentera Harapan Kupang ketika mendapati dirinya tak lolos USM Teachers College UPH. Padahal sewaktu SMA ia paling bangga membawa jilidan buku bersampul UPH dan bilang ke kawan-kawannya kakaknya kuliah di kampus keren di Jakarta, begitu ia mengumbar๐Ÿ˜„. Ia juga bilang akan mengikuti juga jejak kakaknya berkuliah di UPH.

Bulan November waktu itu, USM TC UPH yang diadakan di SD Lentera Harapan di Bonipoi, di mana saya pun menjadi salah satu pengawas tapi di ruangan lain sementara yang mengawas di ruangannya adalah dua kawan guru dari SMP, Pak Hikmah dan Ka’Uthe, pikirnya karena kakaknya sendiri pengawas USM dan pengawas ruangannya sendiri adalah kawan kakaknya maka ia bakalan lolos.

Nyatanya, sore ketika daftar peserta USM yang lolos ditempelkan, tak ada namanya di sana, malahan satu sahabat dekatnya yang sedari kemarin bersama-sama hingga sore menjelang pengumuman mereka masih seranjang beristirahat siang terpampang namanya urutan satu yang berarti nilainyalah yang paling tinggi di antara semua peserta. Meledaklah tangis tanpa suaranya tak peduli berapa pasang mata sedang melihatnya kala itu๐Ÿ˜„.

Melihat mukanya waktu itu saya ikut trenyuh. Betapa ia mendamba-damba masuk UPH namun pengumuman sore itu seakan meluluhlantakkan mimpinya. Rasanya sore itu kami meninggalkan pelataran SD Lentera di Bonipoi dengan pahit. Sepanjang jalan ia ngambek. Tak mau dihibur dengan apapun. Bahkan juga tak mau berkabar pada siapapun yang mengiriminya SMS.

Kepadanya saya hanya punya satu cerita. Ketika di kelas 2 SMA dan ikut olimpiade kimia di tingkat provinsi. Berhari-hari saya serius belajar juga berpuasa (saya lupa dari mana saya belajar teori puasa) biar kalau bisa saya lolos mewakili provinsi demi bisa menginjakkan kaki di ibukota Jakarta.

Masih jelas betul saat itu bulan April dan ada perayaan paskah di gereja. Orang-orang ramai mengikuti berbagai macam perlombaan di halaman gereja. Ada cerdas-cermat, cepat-tepat, vokal grup, paduan suara, pertandingan voli, dan entah apa lagi. Sementara banyak orang tua muda berlarian ke sana ke mari antara mengurusi pekerjaan rumahnya juga menyempatkan diri terlibat dalam perayaan tahunan itu walau hanya sebagai penonton pinggir lapangan, saya malah sibuk menggeser meja dan kursi ruang tamu dekat jendela dan serius belajar di sana sambil sesekali melongokkan kepala ke luar melihat orang-orang yang saling meneriaki satu sama lain untuk sama-sama berangkat ke gereja.

Karena bertepatan dengan perayaan paskah dan sekolah libur, saya sudah dari pagi-pagi jam 9-an belajar hingga sore hari. Waktu itu sisa-sisa musim hujan masih terlihat. Pepohonan di sekitar rumah masih tampak hijau. Adakalanya saya membawa buku dan belajar di bawah pohon di depan rumah. Beberapa tetangga yang lewat bertanya kenapa saya tak ikut menonton kemudian mengajak. Pada mereka, saya acungkan saja buku-buku di tangan. “Tidak, saya ada lomba usai liburan paskah ini.” Maka berlalulah mereka. Demikian itu terjadi beberapa kali setiap tetangga yang berbeda lewat di depan rumah.

Sampai ketika liburan paskah usai dan beberapa hari kemudian kami dipanggil mendadak untuk segera bersiap menuju SMAN 1 Kupang di Oebobo yang waktu itu di mata saya top sekali๐Ÿ˜„๐Ÿ˜…. Dengan bemo yang dicarter, saya dan seorang kawan lain yang lolos di matematika mewakili kabupaten Kupang didampingi guru fisika kami langsung menuju SMAN 1. Tiba di sana, ternyata tes sudah dimulai. Kami masuk di satu ruangan yang mana dari daftar hadir yang ditandatangani diketahui pesertanya datang dari berbagai kabupaten di NTT. Dengan napas yang terengah dan merasa asing dengan ruang tes karena terlambat, kami menerima lembaran soal dan mengerjakan. Sambil mengerjakan saya terus mendengungkan doa, bagaimanapun saya mesti lulus biar bisa mewakili NTT menginjakkan kaki di kota Jakarta.

Selesai mengerjakan serangkaian tes yang ternyata di luar ekspektasi itu, kami pun langsung pulang. Di rumah saya masih tetap bersungguh-sungguh berdoa kalau-kalau Tuhan bermurah hati meloloskan saya mewakili propinsi.

Seminggu berikutnya atau lebih, pada saat istirahat, sang guru fisika memanggil kami ke kantornya. Kami diberitahu terkait hasil tes di SMAN 1. Katanya tak ada satu pun di antara kami yang lolos di tingkat propinsi. Saat itu saya menerima kabar itu biasa-biasa saja. Tapi di rumah, saya menangis selama dua hari. Dunia saya seakan runtuh. Pikir saya, kiamat adalah sudah di hari itu.

Beberapa bulan kemudian, ada kabar pembukaan tes masuk UPH. Saya mencoba ikut. Melewati berbagai rintangan ini itu, akhirnya dikabarkan saya lolos. Bersiap berangkat bulan Juli ke Karawaci, Tangerang. Perasaan senang saya waktu itu meluap-luap. Akhirnya saya akan menginjak kota lain itu, mau Jakarta mau Tangerang intinya di sana mereka satu.

Demikianlah seiring berjalannya waktu, pelan-pelan sedikit tersingkap kenapa sebelumnya saya tak lolos olimpiade kimia mewakili provinsi. Andai saja saya lolos waktu itu mungkin memang saya jadi pergi dan pulang dengan sombong luar biasa dan kalau jalan ke mana-mana saya hanya akan membusung dan memukul dada merasa diri paling hebat seantero jagat raya lalu lupa belajar lanjut lalu lupa diri lalu lupa ingatan lalu lupa mandi lalu lupa makan minum lalu lupa gosok gigi lalu lupa tidur lalu lupa be’ol lalu lupa bernapas lalu lupa mati lalu lupa segala hingga bisa jadi untuk mencicipi bangku kuliah saja tak sempat sebab silau hidup aku kamu kita berdua pemilik dunia ini plus orok kurus kamomos, yang lain itu hanya dengung lalat lewat๐Ÿ˜‰.

Terkait masalah waktu, kalau misalnya saya lolos saat itu, bisa jadi saya pergi, tapi paling hanya beberapa hari menghirup atmosfer kota lain itu kemudian pulang dan mungkin saja terjadi seperti yang di atas๐Ÿ˜๐Ÿ˜Š. Sementara yang kemudian terjadi adalah saya jadi menginjakkan kaki di sana, bukan hanya pergi sebentar mengikuti tes beberapa hari lalu kembali dan mengumumkannya dan mengharap semua orang mengeluk-elukan saya di atas keledai sambil menghamparkan daun palem sepanjang jalan, melainkan sampai ikut mencicipi suka-dukanya selama empat tahun dan apa yang didapat melampaui ekspektasi awal (kalau bukan lewat empat tahun itu, saat ini pun saya tak mungkin menulis di blog ini๐Ÿ˜†๐Ÿ˜„).

Ia menyimak memang cerita itu. Tapi tak tahulah ia menyimpannya baik-baik ataukah hanya menganggapnya angin lalu.

Saya tekankan lagi, “Sebagaimana maksud baik terjadi padaku, mungkin juga kelak itu akan terjadi padamu.”

Tentu dalam dialeg Kupang tak persis bahasanya seperti itu. Tapi intinya begitulah kira-kira. Kita tak tahu ada maksud apa di balik yang terjadi sekarang.

Ternyata betul. Selama ia kuliah di Kupang, meski ia adik, saya justru banyak belajar darinya. Ada banyak hal. Tapi hanya satu contoh yang akan saya ceritakan sedikit di sini.

Pada bulan Desember kemarin, ia mengajak saya mengisi VG di gereja di kampung. Saya keberatan awalnya. Tapi ia kelihatan mau sekali dan bilang kalau saja ia bisa main gitar ia akan tampil walau sendiri. Melihat kerindunnya saya pun mengiyakan. Kami berlatih beberapa hari sebelum tampil. Di hari H sebelum tampil, saya bilang saya grogi dan agak gugup mengingat di gereja itu banyak gitaris yang jauh lebih hebat. Ia langsung dengan kalimat tegas menyanggah saya. Kalimatnya cukup menyentak. Dalam hati saya malu sendiri๐Ÿ˜†๐Ÿ˜„.

“Kalau su siap hati menyanyi untuk Tuhan tu, kenapa mesti gugup?”

Sumpah. Saya seperti seorang remaja yang baru belajar mengenal diri๐Ÿ˜….

Kalimat yang masih terngiang-ngiang di telinga saya sampai hari ini. Menjadi pengingat untuk bukan hanya tentang menyanyi di gereja tentu. “Toh, apa lagi yang masih kau takutkan ketika Ia ada dalammu?”

Yah, mungkin itu salah satu alasan ia tetap ditaruh Tuhan di sini. Dan hari ini, ia telah menyelesaikan pertandingan kuliah S1-nya dengan baik. Memang di depan sana, masih ada lagi jalan baru yang mesti ia tempuh. Tapi, bukankah untuk tapak ini, bolehlah saya bangkit berdiri, memberi tepuk tangan, menjabat erat tangannya, merangkul manis pundaknya, serta menunduk syukur kepada Tuhan yang kusembah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatanku? ย Biarlah dengan tunduk penuh hormat ini kembali kami diingatkan, bukan kepada siapa-siapa atau apapun kami berkata-kata dan bergerak, melainkan semuanya dikembalikan kepada Kau saja. Benar, hanya Kau๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ˜‡๐Ÿ˜‡๐Ÿ˜‡.

 

Merayakan Keseharian

Better When We’re Singin’


Kami sudah di jalan pulang ketika di antara kami ada yang baru ingat, “Kok tadi sonde ada yang sempat kas ingat buat ambil foto berempat?”

Betul juga. Mungkin sedemikian asyiknya sampai tak ada satu pun yang sempat ingat untuk mengekalkan momen yang baru saja berlalu.

Baiklah. Karena tak sempat dalam bentuk foto. Marilah dikekalkan saja dalam torehan kata-kata ini sambil menempelkan lagi foto lama yang kira-kira menggambarkan momen tersebut. Sama kok. Hanya beda waktu dan suasana.

Selamat ulang tahun yang terlambat, Nona Clara.

 

Cuplikan Cerita Lentera, God's Story, Kegiatan Seni dan Budaya, Merayakan Keseharian

Di Balik Lomba Musikalisasi Puisi antar Guru pada Semarak Bulan Bahasa 2017

Semarak Bulan Bahasa di Kupang rutin diadakan oleh Kantor Bahasa NTT. ย Kalau setahun sebelumnya puncak acara dilaksanakan di Lippo Plaza Kupang, maka tahun ini tempatnya di Taman Budaya Gerson Poyk, Kupang.

IMG-20171027-WA0038.jpg
Kepsek SMA Lentera Harapan Kupang (ketiga dari kanan) turut hadir memberikan dukungan. Foto ini diambil seusai babak penyisihian, Jumat (27/10)

Ada beberapa hal yang dilombakan (bagusnya lomba-lomba itu merangkum beragam kategori dari anak usia dini hingga guru-guru๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜) antara lain: mewarnai untuk anak Paud, orasi untuk siswa SD, menulis resensi untuk siswa SMP, cerdas-cermat untuk siswa SMA, IHaNi untuk mahasiswa S1, dan musikalisasi puisi untuk guru SMP/SMA/SMK/MA (sayang guru TK/SD tak disertakan).

Tim Musikalisasi Puisi SMP dan SMA. Mereka antara lain: Nathaly, Dwi, Elise, John (SMP) dan Jessie, Debima, Daud, dan Zimri (SMA)

Kalau tak salah, menurut saya baru kali ini kegiatan lomba-lomba dari Kantor Bahasa NTT ikut melibatkan guru-guru. Untuk kategori ini menurut saya patut diapresiasi๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘. Dengan demikian guru-guru yang selama ini punya potensi dan menyimpannya diam-diam akhirnya terungkap juga (ini hasil pengamatan pribadi terhadap kawan-kawan saya sendiri๐Ÿ‘€๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ™๐Ÿ˜„.

Dua peserta lomba menulis resensi, Ayu Oenunu dan Jessika Rambu

Terkait lomba-lomba untuk semarak bulan bahasa ini, dari Lentera Harapan Kupang, ada siswa SD ikut lomba orasi, siswa SMP siap mengikuti lomba menulis resensi, siswa SMA harusnya bisa ikut cerdas-cermat hanya telat memberikan informasi sehingga tak jadi, serta para gurunya juga langsung menyambut antusias lomba musikalisasi. Bahkan untuk yang terakhir, saking antusiasnya, saya sampai harus beberapa kali ‘deal’ dengan Pak Ardy, salah satu panitia dari Kantor Bahasa yang menjadi narahubung lomba musikalisasi ini.

Ceritanya, pada saat brosur lomba itu dibagikan di grup WA, sorenya seusai doa pulang, saya langsung didatangi lima kawan saya. “Kami mau ikut lomba musikalisasi puisi,” hampir serempak suara mereka ditambah lagi dengan mata yang berbinar-binar.

Respons cepat mereka saya sambut gembira tentunya. Hanya sayang bagaimana mungkin lima orang sementara di brosur tertulis maksimal empat orang untuk satu tim.

Ini mereka lima sekawan ๐Ÿ˜„

“Tak bisakah? Kami mau tampil seangkatan soalnya. Mewakili guru SMA.” ๐Ÿ˜„๐Ÿ˜…๐Ÿ˜„.

Oh, ya, SMA. Baik. Kalau SMP langsung terbentuk saat surat itu tiba di tangan kepsek berhubung ia juga adalah seorang pemusik andal๐Ÿ˜„. Saya menerima surat itu langsung dengan nama-nama anggota tim MP. Lengkap empat orang termasuk saya.

Nah, ini SMA harusnya juga 4 orang malah 5. Karena memang diminta jadi PIC, saya kemudian bertanya kepada Pak Ardy via WA. Jawabnya, akan dibicarakan di temu teknis nanti. Saya tahu pasti itu sebenarnya sebuah keberatan yang halus๐Ÿ™๐Ÿ˜„.

Esoknya atau beberapa hari setelah itu, ada lagi pengajuan, dari SMA ada lagi yang mau ikut lomba musikalisasi puisi. Wah, sementara di persyaratan satu sekolah hanya boleh kirim satu tim. Bagaimana ini?

Pada suatu hari di sela-sela satu kegiatan literasi di salah satu SMP negeri di Kupang, tak sengaja saya bertemu Pak Ardy, sang narahubung lomba musikalisasi puisi, dan mencoba menanyakan terkait
di brosur persyaratan lomba ditulis peserta hanya boleh berjumlah 2-4 orang per tim, sementara kami malah siap lima, lalu satu sekolah hanya boleh mengirimkan satu tim, kami malah minta kalau boleh dua tim.

Sebagaimana jawaban kemarin melalui HP, akan didiskusikan di temu teknis. Atau kalau tim yang satunya lagi mau tampil, boleh sebagai bagian ekshibisi di final nanti. Ah, bagaimanapun itu sudah penolakan yang halus. Wajarlah. Itu sudah terpampang di brosur yang tersebar. Masakan yang sudah tertulis harus diotak-atik lagi?

Maka jadilah demikian. Salah satu dari mereka yang 5 orang itu haruslah dengan rela melepaskan diri. Lima sekawan, sebutan bebas saya saja untuk mereka๐Ÿ˜„, tak lagi utuh kali ini.

Karena sudah fix empat orang dalam tim mereka, latihan pun dimulai. Setiap sore sepulang sekolah, di salah satu ruang kelas paling ujung itulah mereka pakai. Baru latihan permulaan saja mereka sudah memukau sampai-sampai hampir menciutkan semangat guru-guru SMP mengikuti lomba ini. Begitu pengakuan yang saya dengar.

Namun begitu, adalah tanggung jawab dan niat hati mereka dari awal untuk mengikuti lomba ini. Tim SMA sudah beberapa hari lebih dulu ketika tim SMP baru memulai latihan perdananya. Karena ada satu undangan kegiatan lain di Jakarta yang sebelumnya saya pikir belum pasti ternyata jadi dan saya mesti berangkat sementara latihan persiapan lomba mesti tetap berjalan. Lomba tinggal beberapa hari lagi. Saya minta digantikan dan merekomendasikan beberapa kawan saya. Saya percaya mereka bisa bahkan jauh di atas saya dalam hal berlagu.

Di hari diadakan temu teknis, baru kami tahu, seharusnya setiap tim mempersiapkan 2 dari 4 puisi yang sudah dimusikalisasi. Alasannya, puisi untuk penyisihan berbeda dengan nanti di babak final. Siapkan 2, siapa tahu masuk final, begitu katanya. Nah, selama ini kawan-kawan hanya mempersiapkan satu. Jadilah, dalam 2 hari itu mereka ngebut membuat musikalisasi puisi yang satu lagi untuk, yah siapa tahu masuk final. Cukup menegangkan dan banyak kejadian lucu selama 2 hari itu. Walau saya tidak masuk tim, saya tetap ada bersama mereka memberi dukungan tentunya serta ikut mengalami momen-momen itu terutama di tim SMP. ย Momen bagaimana ketika ada satu nada yang sudah teramat bagus dan sangat bagus, demikian kami menyepakatinya, tiba-tiba terlupakan tanpa sempat direkam dan tiada satu orang pun di antara kami berlima mengingatnya. Sama sekali seakan tak pernah ada, tak pernah dibuat. Berbagai upaya dilakukan tapi sungguh nada itu tak kunjung kembali. Rasanya, saat itu kami ingin menangisinya bersama-sama๐Ÿ˜„๐Ÿ˜…๐Ÿ˜‚.

Ada lagi ketika salah seorang anggota bertanya, apakah musikalisasi puisi harus ditampilkan seperti orang kerasukan? ๐Ÿ˜…๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜„ Saya menjawab, saya pun kurang tahu. Beberapa kali (dua kali tepatnya๐Ÿ˜„) mengikuti workshop musikalisasi puisi baik di Kupang bersama seorang bernama Fileski yang awal-awal ia saya kagumi tapi sekarang sudah tak lagi ๐Ÿ˜… maupun baru-baru ini di Jakarta tepatnya di Salihara pada kegiatam LIFEs bersama penyair Adimas Imanuel dan pemusik Sri Hanuraga dan para pemateri ini tak pernah menyinggung sedikitpun tentang hal-hal samacam kerasukan dan saya pun lupa atau memang tak sempat berpikir untuk menanyakan hal itu. Begitu juga kebersamaan singkat pernah semobil dengan dua orang kawakan, Ari-Reda sewaktu MIWF 2017 (kalau ini mah pamer namanya ๐Ÿ˜Ž๐Ÿ˜…), tak ada unsur-unsur kerasukan dalam musikalisasi puisi mereka. Kawan kami itu, sebut saja P, yang awalnya tak suka ada unsur-unsur begituan di dalam penampilan musikalisasi puisi mereka, ketika satu waktu dirasa memang sepertinya boleh juga dicoba kemudian memeragakan salah satu kutipan yang sontak membuat kami terperangah. Itu bukan dirinya. Sungguh tak bisa dipercaya. Tak mungkin hal seperti itu akan ditampilkan di panggung. Sebab kalau yang begitu dipentaskan di panggung, percaya saja, itu bukan lagi namanya musikalisasi puisi tapi sudah akan berubah nama jadi lawakan paling konyol sepanjang sejarah๐Ÿ˜„๐Ÿ˜…๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜Ž๐Ÿ˜…๐Ÿ˜‚.

Sudah. Demikian tentang masa persiapan. Kita akan lanjut dengan masa pementasan.

Babak penyisihan berlangsung hari Jumat, 27 Oktober 2017. Tim SMP mendapat nomor undian ke-11 sementara Tim SMA di nomor undian ke-16. Berhubung hari itu adalah hari efektif, maka kelas tetap tak bisa ditinggal pergi begitu saja. Kelas harus tetap berjalan. Mesti ada yang memantau, kita hanya pergi saat mau tampil saja kemudian bisa kembali. Kebetulan tempat lomba tidak begitu jauh dari sekolah. Paling keluar dari kelas 20 menit untuk kemudian kembali. Maka harus ada di antara mereka delapan orang itu yang punya jam kosong untuk bisa bergantian berjaga dan memantau di tempat lomba. Ternyata setelah cek and ricek, urusannya malah jadi agak ribet dan pelik.

Disepakati saya yang sekalian mendampingi siswa mengikuti lomba sekalian memantau dan melaporkan perkembangan lomba musikalisasi puisi. Toh, semua lomba ada di satu lokasi yakni di Taman Budaya Gerson Poyk, Kupang.

Hari Jumat, tanggal 27 Oktober 2017 itu, saya mendampingi dua siswi SMP mengikuti lomba menulis resensi yang katanya akan dimulai pukul delapan pagi sehingga sudah dari pagi-pagi di sesi satu saya izin tidak masuk kelas.
Karena sementara para siswa mengikuti lomba menulis resensi yang beberapa jam itu tak mungkin saya berjaga di pintu mengawasi mereka. Sayalah yang akan memantau waktu kapan perlombaan musikalisasi puisi dimulai, bagaimana perkembangannya, sudah di nomor undian ke berapakah penampilan yang sedang berlangsung, dsb. Saya kurang tahu bagaimana tingkat ketenangan hati mereka sementara mengajar di dalam kelas dan mengikuti laporan saya yang masuk dari menit ke menit, tapi saya merasa mereka sepertinya ada juga sedikit debar-debarnya.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Ayu dan Jessika, dua siswi peserta lomba menulis resensi yang ternyata jadwal lomba mereka diundur karena ruangan mereka masih dipakai adik-adik Paud untuk lomba mewarnai duduk di samping saya dan dengan gelisah terus bertanya di mana bapak-ibu guru yang ikut lomba musikalisasi puisi. Sudah beberapa tim yang tampil dan terus berlanjut tanpa henti. Mereka merasa was-was sebab sesuai pengumuman peserta yang tidak muncul pada panggilan ke-3 akan didiskualifikasi. Mereka takut apabila itu terjadi pada bapak-ibu gurunya.

Hingga di nomor undian 6 lalu melangkah ke nomor 7, melihat bapak-ibu gurunya belum tampak, dua anak ini beranjak mengecek di luar, bahkan karena hari itu memang saya izinkan membawa HP, salah satunya sampai menelpon atau entah mengirim pesan kepada wali kelasnya yang juga adalah salah satu dalam tim musikalisasi puisi ini. Bayangkan, betapa mereka yang seharusnya lebih berkonsentrasi untuk lomba mereka sampai ikut merasa was-was, nomor urut bapak ibu gurunnya sudah mau dipanggil tapi kok tak ada tanda-tanda tampak.

Giliran nomor undian 8 tampil di mana peserta nomor 9 harus berdiri di samping panggung untuk bersiap. Sementara nomor 8 tampil dan nomor 9 sudah berdiri di tempat yang diharuskan, saya mencoba mencari tanda-tanda penampakan nomor undian 10. Tapi sepertinya mereka tidak hadir.

Kalau tadinya saya hanya duduk dan berdiri di tempat sambil sesekali mengambil gambar, kali ini saya bangkit dan berdiri di dekat pintu agar bisa menengok ke luar. Kawan-kawan saya belum juga nampak. Saya kirimkan pesan ke grup. Ada yang membalas. Mereka sementara di perjalanan menuju tempat lomba.

Tak lama kemudian, terdengar dari pelantang, nomor undian 9 dipanggil tampil. Nomor 10 bersiap di samping panggung. Tiga kali digaungkan, tak juga ada tanda-tanda muncul peserta nomor undian 10. Pada waktu itulah saya lihat Ayu dan Jessika muncul di lobi dengan muka berseri menunjuk dua gurunya yang baru saja tiba. Mereka masuk tepat nomor undian 11 diminta bersiap di sisi kanan panggung. Sementara nomor 9 tampil, dua kawan yang lain masih juga belum tiba. Saya menelpon tapi tak diangkat. Peserta nomor undian 9 hampir selesai ketika terlihat dua kawan lain dalam Tim SMP ini muncul lagi-lagi didahului dua siswi kami yang juga belum mulai lomba menulis resensinya. Keduanya datang dan tak sempat duduk ataupun mengambil jeda sejenak. Langsung mengeluarkan gitar dan maju di panggung karena memang sudah dipanggil tampil. Tim ini kalau boleh saya bilang sebagai orang Kupang, dong tarek napas di atas panggung.ย 

Sementara mereka tampil, muncullah Tim SMA yang mendapat nomor undian 16. Mereka berempat datang bersamaan. Ada serta mereka sang kepsek. Kalau tim SMP tadi datang dengan motor datangnya, maka kemungkinan tim SMA ini dengan mobil. Peduli amat mau pakai apa, yang penting lega sudah tugas saya sebagai pemantau dan reporter.

IMG20171027105146
Tim SMP dengan puisi “Padamu Jua”
IMG20171027104909
Mumpung lomba menulis resensi belum dimulai, dua siswi ini ikut merekam penampilan bapak-ibu gurunya

Selesai tim SMP ini tampil, baru saya dengar cerita, dua orang kedua ternyata sempat nyasar cukup jauh sebelum akhirnya mereka berani bertanya di mana letak taman budaya yang dimaksud๐Ÿ™ˆ๐Ÿ™‰๐Ÿ˜„๐Ÿ˜….

IMG20171027110635
Tim SMA dengan puisi “Doa”

Penampilan mereka di tengan keterbatasan itu, puji Tuhan, alhamdulillah, ย memuaskan. Sujud syukur, dari semua peserta, mereka keluar sebagai peserta ke-3 dan ke-4 terbaik di babak penyisihan. Mereka akan tampil lagi di babak final, Sabtu (28/10). Membawakan musikalisasi puisi yang baru disiapkan setelah hari temu teknis, dua hari.ย Ajib.

Bila di babak penyisihan tim SMP membawakan puisi Padamu Jua, maka di babak final mereka akan menampilkan puisi Doa. Sedangkan tim SMA di babak penyisihan dengan puisi Doa, di babak final mereka maju dengan Kembalikan Indonesia Padaku.ย 

Penampilan mereka di babak final ini bagi saya menakjubkan mengingat waktu latihan hanya dua hari di jam sepulang sekolah. Mengenai penampilan mereka, akan saya tampilkan videonya. Silakan menyaksikan sendiri dan berikan penilaian Anda.

Tentu video ini bukan untuk dicari jumlah like terbanyak atau komentar terbaik๐Ÿ˜„๐Ÿ˜. Ini hanya sebagai apresiasi saya atas kerja keras mereka sekalipun mereka bukan menduduki juara 1, 2, 3, dst, meski memang Tim SMP menjadi pemenang harapan 2 sementara Tim SMA tidak di dalam jajaran itu, toh itu hanya masalah angka. Urutan atau angka itu bukan ukuran atau penentu. Demikian yang saya tahu dan saya percayai dan juga mungkin Anda sekalian, bukan? ๐Ÿ˜„๐Ÿ˜Ž

Catatan, untuk video kedua (tim SMA) kalau kau menemukan ada satu kejanggalan terkait isi puisi di situ, abaikan saja. Kesalahan itu sudah diakui sang pengucapnya. Kami sudah menganggapnya sebuah momen yang punya arti tersendiri bagi kami. Katanya, dari situ penampilan selanjutnya sudah jadi blunder๐Ÿ˜„๐Ÿ˜Š. Semoga Bapak Taufik Ismail tidak marah. Satu hal yang lucu adalah, ada satu komentar di antara kawan-kawan, jangan-jangan itu ramalan buat Jakarta๐Ÿ˜…๐Ÿ˜‚mengingat Jakarta paling santer muncul di media-media dengan berbagai masalahnya seolah-olah Indonesia hanyalah Jakarta (iya, dong. itu kan ibukota๐Ÿ™ˆ๐Ÿ™‰). Mungkin begitu๐Ÿ™Š๐Ÿ˜„.

Ada juga hal-hal indah yang tak lupa mau saya pahatkan. Status WAย satu kawan saya. Namanya juga status WA, akan kau lihat di mana lagi kalau sudah lewat 24 jam? ย ๐Ÿ˜Ž๐Ÿ˜Ž๐Ÿ˜Ž

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

 

Kegiatan Seni dan Budaya, Merayakan Keseharian

Gebyar Literasi ala MGMP Bindo SMP Kota Kupang

Gebyar Literasi adalah kegiatan pertama Komunitas MGMP Chairil Bindo SMP Kota Kupang. Komunitas ini sendiri baru terbentuk tahun 2017 dengan Bapak Ariyandi Benygerius Mauko dari SMPN 16 sebagai ketua serta beberapa pengurus inti lainnya dari SMPN 13 Kupang, SMPN 8 Kupang, dan SMP Kristen Citra Bangsa Kupang.

Kegiatan gebyar literasi ini diadakan pada Kamis, 26 Oktober 2017 di Taman Nostalgia (Tamnos) Kupang. Melibatkan hampir semua SMP di Kota Kupang baik negeri maupun swasta.

IMG20171026162304

Adapun kegiatan utama yang dilakukan hari itu adalah siswa menemukan nilai karakter dari sebuah bacaan yang diberikan untuk kemudian mengalihwahanakannya kepada bentuk lain seperti puisi, komik, cerita baru, dll. Sebuah kegiatan sederhana memang. Semua kita bisa sering melakukannya sendiri-sendiri di sekolah. Namun yang perlu diapresiasi dari kegiatan gebyar literasi ini adalah kegiatan sederhana ini dikemas dengan menarik sehingga tidak membuat siswa ataupun guru sebagai pendamping merasa bosan.

IMG20171026163013

IMG-20171031-WA0047.jpg

 

IMG20171026163048IMG20171026163115

Selama anak-anak melakukan kerja mereka, ada juga diselilingi dengan beberapa pementasan yang disuguhkan baik dari SMPN 16 Kupang, Univ Muhammadiyah Kupang, juga tamu dari kelompok Teater Nara Larantuka yang mampir di Taman Nostalgia.

IMG20171026165212

IMG-20171031-WA0021.jpgIMG-20171031-WA0018.jpgIMG20171026171643IMG20171026171930IMG20171026173730IMG20171026174817IMG20171026180155

IMG-20171031-WA0011.jpg

Kegiatan Seni dan Budaya

LIFEs Hari Pertama

IMG20171019184621LIFEs adalah salah satu kegiatan yang diadakan Komunitas Salihara di Jakarta. LIFEs itu sendiri adalah singkatan dari Literature and Ideas FEStival. ย Kegiatan ini berlangsung selama hampir sebulan penuh, dari tanggal 7 hingga 28 Oktober 2017. Di antara beberapa kegiatan itu terselip di antaranya sesi Forum Penulis Muda Indonesia yang berlangsung dari Kamis, 19 hingga Minggu 22 Oktober 2017. Nah, saya mendapat undangan untuk yang forum itu. Tidak tahu kenapa dan dari segi mana dilihat sehingga saya ikut diundang. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih saja kepada Komunitas Salihara dan Yayasan Lontar.

Dari Kupang saya dan Kak Dicky (Christian Dicky Senda) baru berangkat di Kamis pagi. Sementara ada beberapa kawan dari luar Jakarta ada yang sudah berangkat lebih dahulu sehari sebelumnya. Kami tiba siang hari di Salihara dan bertemu dengan 12 (-1) orang lainnya yang juga diundang untuk sesi yang sama, serta berkenalan dengan beberapa di antara panitia kegiatan ini. Mereka antara lain Rebbeca, Mbak Wikan dan Mbak Nina dari Lontar.

Tak berapa beristirahat lama, kami langsung mengikuti sesi yang sudah diagendakan untuk hari itu. Berikut beberapa cuplikan di Hari Pertama mengikuti kegiatan LIFEs.

Sesi Satu: Sebelum buku diterbitkan

Sesi tersebut menghadirkan Mbak Dewi Noviami sebagai moderator, Pak Anton Kurnia dari Penerbit Baca dan Mbak Mirna Yulistianty dari GPU sebagai narasumber.

Mbak Mirna mengisahkan serba-serbi penertbitan di Gramedia Pustaka Utam
Sekilas tentang Jurnal Ruang, salah satu teman main GPU

Break

Break ini hanya berlangsung kira-kira 20 menit. Ada penganan dan teh kopi disediakan di dekat pintu keluar black box theater. Jakarta sedang hujan saat itu sehingga hampir semua peserta diskusi hanya menikmati penganannya di sekitaran lorong itu.

Di sela-sela sesi break itu, ternyata ada yang didatangi untuk diwawancarai terkait #LakoatKujawas dari Mollo, TTS.

Sesi Dua: Setelah buku diterbitkan

Sesi dua masih tetap dengan moderator Mbak Dewi, menghadirkan narasumber Pak Aldo Zirsov dari Goodreads Indonesia dan Mr John McGlyn dari The Lontar ย Foundation.

Sesi Malam: Perayaan HUT ke-30 Yayasan Lontar dan Pembacaan Karya

Goenawan Mohamad (sungguh malang kalau kau tak kenal siapa beliau… ๐Ÿ˜‰๐Ÿ˜„)
John McGlynn dari Yayasan Lontar

Mari tersenyum lebar๐Ÿ˜œ๐Ÿ˜๐Ÿ˜†. Dalam rangka merayakan HUT ke-30 Yayasan Lontar, mereka membagikan hadiah buku. Tak disangka saya kecipratan dapat buku Antologi Cerpen๐Ÿ˜๐Ÿ˜Ž๐Ÿ˜™.

Hari pertama ditutupย dengan menikmati makan malam bersama di Kedai Salihara. Selain kami anggota forum penulis muda di situ, ada dua kawan baru dari sekitaran Jakarta yang katanya tiba-tiba ‘tersesat’ saja di Salihara malam itu๐Ÿ˜„.

Cuplikan Cerita Lentera, Merayakan Keseharian

Menceritakan kembali Cerpen yang dibaca

Salah satu KD (entahlah KD nomor berapa saya agak lupa๐Ÿ˜„๐Ÿ˜€) di Bahasa Indonesia kelas 9 : Menceritakan kembali cerpen yang sudah dibaca. KD yang harus diabadikan. Kelak di K13 materi yang yang membuat momen-momen seperti ini entahlah ada atau tidak๐Ÿ˜„. 


Harusnya ada yang menceritakan kembali Cerpen Memecahkan Celengan Babi karya Etgar Keret. Mereka malah membedah, dimulai dengan “Kenapa judulnya harus pakai Celengan Babi?” hingga kenapa Yoavi sedih sekali saat mau melepaskan celengannya, sampai harus juga dengan koin-koinnya sekaligus, dan berbagai pertanyaan lainnya.  

Michael menceritakan tentang Charles karya Shirley Jackson, cerpen favorit hampir semua kelas ๐Ÿ˜Š

Sylvi menceritakan tentang God Sees the Truth but Waits dari Leo Tolstoy

God's Story, Kegiatan Seni dan Budaya, Merayakan Keseharian

Kencan Buku, Diskusi Sastra di TamNos, dan Sekilas tentang Oi

Sabtu, 14 Oktober 2017. Malam ini di tempat kencan buku Taman Nostalgia Kupang atau yang disebut TamNos sedikit berbeda. Selain digelar lapak baca gratis, ada juga diskusi tentang proses kreatif. Sebagai narasumber maka dihadirkan dua pekerja kreatif yakni Frater Deri Saba dan juga Pater Milto Seran.

Diskusi tepat dimulai pukul 08.03 wita. Dibuka Kak Gusti Fahik yang kemudian dimoderatori Kk Efry Tanouf. Sebagai pengantar, Deri Saba pun menjelaskan sedikit tentang latar belakang ia menulis, kenapa yang ditulisnya adalah cerpen, kenapa dan bagaimana proses sampai buku cerpen Ingatan adalah Belati itu jadi, dan tentang apa pula cerita-cerita yang ada di dalamnya. Demikianlah diskusi itu mengalir dan terus berlangsung diselilingi dengan beberapa tanya jawab juga masukan dari beberapa peserta yang hadir.

Kira-kira sejam lebih berlalu, diskusi dengan narasumber kedua pun berlanjut. Oleh moderator, Pater Milto Seran diperkenalkan sebagai seorang imam yang selama tiga tahun terakhir ini tinggal di Rusia๐Ÿ˜ฑ๐Ÿ˜˜ (Walau sekarang sudah tak begitu-begitu amat, tapi saya pernah memfavoritkan Rusia sebagai negara yang ingin saya pelajari bahasanya, datangi tempatnya, tinggal di sana, merasakan langsung kulturnya, bahkan kalau bisa dapat keluarga dari nama sana biar nama saya jadi ikut berubah sebab saya suka kerumitan ejaan nama orang-orangnya๐Ÿ˜„๐Ÿ˜…. Semua itu bermula dari cerpen dan novel para sastrawannya walau tahunya cuman Leo Tolstoy, Anton Chekov, dan Fyodor Dostoyevsky).
Pater Milto ini pum memulainya dengan mengatakan dirinya tidak datang untuk berbicara melainkan sebaliknya ingin belajar dari kawan-kawan pegiat literasi yang ada di Kupang. Kemudian ia pun mulai bercerita sedikit mengenai yang diketahuinya mengenai Rusia zaman sekarang dan dilanjutkan dengan tanya jawab terkait beda sastra Rusia saat ini dengan yang sudah biasa dikenal dunia.

Menanggapi salah satu pertanyaan mengenai sastra Rusia selain yang sudah beredar atau yang umum dikenal, Pater pun mengeluarkan satu buku berukuran kecil namun bersampul tebal dan bagus. Buku tersebut berisi kumpulan puisi Sergei Yesenin, seorang penyair Rusia. Puisi-puisi di sana tertulis dalam bahasa Rusia.

Baiklah, mari belajar puisi Rusia karya Sergey Yesenin yang dibacakan langsung dalam bahasa Rusia oleh Pater Milto Seran.

Berikut ini adalah puisi Sergey Yesenin dalam bahasa Rusia yang dibaca tadi. ย Berikut pula adalah terjemahannya dalam bahasa Indonesia oleh orang yang sama tersebut๐Ÿ˜Š.

Diskusi yang cukup serius itu terus berlanjut hingga kira-kira pukul 11 pm. Setelah itu diskusi bebas diberikan. Siapa yang mau lanjut bersama siapa bicara apa dipersilakan. Tidak lagi pakai moderator segala. Saya sendiri bergerombol dengan kawan-kawan Dusun bicara tentang sesuatu yang tentunya tak perlu saya beberkan di sini๐Ÿ˜„sebab cukup privat dan sangat penting.

Tak berapa lama kemudian bergabunglah salah seorang anggota Oi dari Alor. Oi adalah satu ormas yang ada di Indonesia, bermula dari para simpatisan atau penggemar (kalau benar sebutan saya) atau orang-orang muda lingkaran Iwan Fals, yang oleh Iwan Fals sendiri mereka dianggap sebagai anak-anaknya๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜š. Diskusi kecil-kecilan terjadi. Dari hasil sharing itu, dapat disimpulkan, kegiatan yang sudah mereka jalankan kurang lebih tujuh bulan itu sangat inspiratif dan membangun. Walau di Alor yang adalah kabupaten dibanding Kupang yang adalah ibukota provinsi, gerakan mereka sungguh luar biasa, sangat patut diapresiasi, juga diteladani. Salah satu motto atau slogan mereka yang saya ingat adalah SOPAN. Seni, Olahraga, Pendidikan, Akhlak, dan Niaga, adalah bidang-bidang yang ingin mereka garap. Mantap, semua bidang-penting mereka perhatikan. Kalau dilihat dari kacamata penilaian sekolah semua ranah terangkum sudah. Kognitif masuk, psikomotor masuk, afektif masuk. Komplit ๐Ÿ‘๐Ÿ‘.

Salam kenal untuk, OI๐Ÿ‘Œ๐Ÿ‘๐Ÿ‘Š. Selamat berkarya demi kemajuan bangsa๐Ÿ’ช, demi Indonesia๐Ÿ’ช๐Ÿ™๐Ÿ˜‡ .

Catatan Buku, Merayakan Keseharian

Sekilas tentang Membaca

Buku-buku terbitan Momentum

Liburan mid semester sudah usai. Buku-buku yang rencananya dibaca selama liburan belum juga selesai๐Ÿ˜ข.

Abis, bacanyaย pake tengok-tengokย internet segala, sih.”

“Biar. Supaya apa yang kau baca itu, pengetahuanmu utuh. Bukan baca satu sumber saja, ketemu istilah asing atau nama orang baru pun kau berlalu saja sok tahu begitu, padahal sewaktu selesai, baru kau bingung sendiri, apa sih sebenarnya yang saya baca tadi?” ๐Ÿ˜Š

“Tapi kan jadi lama dan panjang. Apalagi kalo di wikipedia. Godaannya banyak amat. Satu kata bergoyang-goyang minta didatangi, satu kata lain tak mau kalah juga minta perhatian. Mana sesampainya di sana, ternyata ada pula anak cucu mereka yang lainnya juga cari perhatian minta disinggahi. Demikianlah persinggahanmu jadi beranak-pinak hingga berjam-jam kemudian baru kau sadar, sebenarnya tadi saya simpan buku sementara untuk buka internet ini buat cari kata apa sih?” ๐Ÿ˜ฑ๐Ÿ˜ญ

Cuplikan Cerita Lentera, Merayakan Keseharian

Kunjungan ke Rumah Kreatif Oebobo

Salah satu karya hasil daur ulang sampah plastik di Rumah Kreatif Oebobo, Kupang

Senin, 9 Oktober 2017 adalah agenda anak-anak kelas 8.1 bersama Ibu Ari berkunjung ke Rumah Kreatif Oebobo. Kebetulan hari itu adalah hari libur setelah penerimaan narrative report pada Kamis, 5/10 sebelumnya. Karena libur itulah saya nebeng ikut.

Anak-anak berkumpul di sekolah pukul 9 dan baru berangkat kira-kira pukul 10. Setelah anak-anak bersama guru pendamping mereka, Ibu Ari, berangkat menggunakan dua bemo, saya pun dengan sepeda motor menjemput kawan saya karena rencana kami seusai dari rumah kreatif Oebobo kami punya agenda melanjutkan perjalanan ke Babau.

Rumah Kreatif Oebobo tidak jauh letaknya dari rumah kawan saya. Jalan masuk ke sana bisa dari dua tempat yakni lorong kecil depan Kantor PU atau bisa juga dari lorong Jalan Bakti Karang samping Kantor Pos. Karena itulah sesampainya di tempat saya biasa menjemput, kawan saya tidak ada dan ketika ditelpon ia malah sudah berada di tempat yang akan kami tuju.

Begitu saya sampai di sana, ternyata anak-anak sudah duduk manis mendengarkan pemaparan dari sang tuan rumah, Bapak Pit Pah, yang ternyata adalah saudara sepupu dari salah satu kawan kami di Lentera, kepsek TK. Beliau begitu hangat menyambut anak-anak. Memperkenalkan sejak kapan beliau memulai kerja kreatif ini hingga diundang ke mana-mana, serta hasil karyanya ini bahkan bukan saja dipesan di dalam negeri tapi juga sudah dikirim ke berbagai negara. Berbekal apa? Hanya sampah-sampah plastik pada awalnya.

Btw, apa itu Rumah Kreatif Oebobo? Ah, sudah pasti dari cerita di atas, kau bisa menyimpulkan sendiri๐Ÿ˜Š. Rumah Kreatif Oebobo adalah tempat di mana para pekerja kreatif memanfaatkan sampah-sampah plastik seperti kemasan kopi sachet atau nutrisari dll untuk diolah menjadi berbagai karya yang bernilai. Dengan kata lain, di Rumah Kreatif Oebobo inilah dikerjakan daur ulang sampah plastik menjadi menjadi aneka karya atau produk bernilai. Hasil-hasil karya atau produk tersebut terlihat berupa tempat tatakan minuman, tempat tissue, nampan, tas, kotak persembahan, dll.

Rumah Kreatif Oebobo ini dimulai oleh Bapak Piter Pah yang kemudian menggandeng kawan-kawan dari PERSANI. Rumah ini juga sekaligus sebagai tempat belajar bagi yang mau belajar mengolah sampah-sampah plastik menjadi benda bernilai dan terbuka bagi siapa saja. Terbuka setiap hari kecuali Minggu dari pagi hingga sore. Selain itu setiap Sabtu pagi mereka juga menggelar karya-karya mereka di arena Car Free Day jalan El Tari tepatnya di depan Stikes Nusantara Kupang.

Demikian sekilas mengenai nebeng kunjungan ke Rumah Kreatif Oebobo. Selain yang telah dituliskan di atas, ada lagi sebenarnya satu cerita, yang bagi saya cukup inspiratif, tapi mungkin belum saatnya ditulis di sini. Akan menyusul di postingan lain. Hanya tetap doa saya, Tuhan memberkati orang-orang yang memperkenankan hati-Nya๐Ÿ™๐Ÿ˜‡.

God's Story, Merayakan Keseharian

Sabtu Bahagia๐Ÿ˜‡

Sabtu, 7 Oktober 2017, telah dengan resmi dibuka Kampung Literasi yang bertempat di SMPN 16 Kupang. Sebuah kegiatan positif yang patut diapresiasi๐Ÿ‘๐Ÿ‘. Kegiatan ini mendatangkan Jurnalis Tempo, Bapak Mustafa Ismail, serta Ibu Mezra E Pellondou, penggagas dan pendiri UKIM.

Saya tidak mengikuti kegiatannya secara keseluruhan. Soalnya rencana awal memenuhi undangan kegiatan ini pun sekaligus saya mau bertemu kawan baik saya, Lala, yang adalah juga alumni UPH dan pernah kami bersama-sama di Lentera sebelum ia mengikuti daddy-nya tes PNS/ASN dan lulus hingga ditempatkan di sekolah ini. Sejak ia pindah kami jarang bertemu maka itulah momen ini sekalian dimanfaatkan๐Ÿ˜€๐Ÿ˜„๐Ÿ˜…. Jadilah di tengah-tengah kegiatan saya pergi bertemu dengannya dan ditraktir makan di kantin sekolah mereka๐Ÿ˜„.

Seusai acara pembukaan, sebelum kelas menulisnya dimulai, para undangan diajak menikmati suguhan dari Kafe ala SMPN 16 Kupang๐Ÿ˜Š.

ย 

Sementara di halaman sekolah, kawan-kawan dariย Komunitas Sastra Dusun Flobamora menggelar berbagai buku bacaan untuk boleh dipinjam dan dibaca gratis. Ada buku-buku baik dari Dusun Flobamora, atau milik pribadi sebagian anggota seperti Romo Amanche, Mas Abu, Bang Abdul, dll.

Kira-kira sejam kemudian, ketika saya dan kawan-kawan Dusun menyusul keย aula, kelas menulis sudah dimulai. Kami hanya mengamati dan mengikuti dari belakang. Hanya sebentar saya di sana sebab saya mesti pamit pulang.

Melanjutkan agenda hari Sabtu siang yang sudah direncanakan. Memulai satu langkah baru. Mempraktekkan apa yang sudah diajari Pak Haryadi kurang lebih sebulan lalu. Belajar bertanam hidropnok.

Ada juga beberapa buku terbitan Momentum (sedikit promosi, ini penerbit buku-buku Kristen terpercaya๐Ÿ˜Š) yang dikeluarkan Ibu Endang dan ditawarkan mau dijual ke anggotaย Persekutuan Reformed Kupang (PRK) saja dulu yang nanti uangnya semua disumbangkan untuk kebutuhan pelayanan di PRK.

Malamnya, seperti biasa di TamNos, kawan-kawan yang bergerak di pustaka jalanan, begitu mereka menyebutnya๐Ÿ˜„, ada dari Leko Pustaka, Dusun Flobamora, ada juga kadang dari Secangkir Kopi, Buku bagi NTT, Tas Pustaka, dll yang dengan berbagai nama walau sebenarnya orang-orang di dalamnya sebenarnya sama, menggelar buku-buku tepat di bawah tangga TamNos untuk dibaca siapa saja. Kegiatan itu dinamai Kencan Buku. ย 

Kencan buku itu sudah berlangsung selama empat minggu (artinya sudah 4 x berjalan di tiap hari Sabtu malam). Kegiatannya dimulai sore hingga katanya sampai bosan walau selama ini paling juga usai di pukul 23 atau 24.

Dari pertama kali buka hingga yang kemarin, baru pertama kali hujan turun sementara orang sedang asyik membaca. Padahal malam kemarin, kita sedang menerima tamu. Tamunya, ya, jurnalis Tempo, Pak Mustafa Ismail, yang jadi narasumber di SMPN 16, Ibu Mezra Pellondou, juga Pak Benny Mauko, kepsek SMPN 16 yang tentu harus mendamping sang tamu dari Tempo, datang menyambangi kami di TamNos.

Penyerahan buku dari Bapak Mustafa untuk Dusun Flobamora๐Ÿ™

Baru saja mereka datang beberapa menit, titik-titik hujan pun turun menyapa lembaran-lembaran buku yang sedang dibaca dan sampul-sampul buku yang sedang digelar. Serempak semua orang yang ada di tempat kencan buku itu bergerak kilat meraup buku-buku untuk dimasukkan dalam kotak kardus. Jelas kardus tidak tahan air. Maka dibungkuslah kardus-karsus itu dengan bekas spanduk milik SMPK St Yoseph yang dipakai menggelar buku. Dengan segera buku-buku itu dilarikan ke rumah Bapak Thea (bapak yang putranya bernama Thea๐Ÿ˜„) yang tak jauh dari situ.

๐Ÿ˜ฑ๐Ÿ˜„๐Ÿ˜…๐Ÿ˜‚

Semuanya sibuk menggendong buku, tas, kardus, dan spanduk menuju rumah Bapak Thea sampai-sampai melupakan ke mana para tamu mencari tempat berteduh. Lokasi sekitar TamNos yang biasanya banyak orang berseliweran langsung jadi sepi. Beberapa mencari tempat berteduh di bawah pohon di pinggir jalan, sebagian besar menuju tempat penjual salome. Ternyata di sanalah para tamu kami berteduh sementara. Dengan segera mereka bergabung bersama kami menuju tempat Bapak Thea.
Setiba kami di tempat Bapak Thea, kami atau sebenarnya saya sendiri kali ya๐Ÿ˜„, agak sungkan bagaimana mengajak para tamu untuk masuk karena saya sendiri baru juga di sana. Jadilah kami yang lain berdiri di luar di depan kios sambil kawan-kawan lain memilah-milah buku tanggung jawab masing-masing.

Sampai beberapa lama kemudian, diajaklah kami masuk ke, katanya itu tempat meeting para penghuni penginapan. Menurut yang saya lihat, tempat itu lumayan bagus dan tenang untuk berdiskusi.

Di situlah diskusi yang hidup berlangsung. Senang saya mengikuti diskusi semacam itu. Ada orang baru datang dengan pengalamannya untuk berbagi dan dengan orang-orang lain ia mau untuk saling bertukar pikiran. Walau saya lebih ke menjadi pendengar, itu bukan masalah sebab saya lebih suka memerankan bagian itu ๐Ÿ˜„.

Cukup. Mungkin ini saja. Awalnya saya buka wordpress hanya untuk memahatkan foto-foto dengan keterangan (caption) masing-masing. ย Tapi jadinya malah cerita panjang. Sudahlah. Akui dan terima sajalah apa yang sudah terjadi. Btw, Terima kasih untuk gerimis yang mengusir kami dari TamNos sehingga bisa ada semacam kelas diskusi yang lebih tenang dibanding di TamNos dengan orang-orang yang berlalu-lalang๐Ÿ˜„๐Ÿ˜Š.