Hari ini pun tiba. Ia yang cerita hidupnya tak kalah seru dari saya (berasa sendiri cerita hidup saya seru ๐๐) akhirnya menjalani sidang atau ujian skripsi. Dengan demikian, selesailah sudah masa kuliah S1-nya dengan selamat. Syukur kepada Allah. Semua jelas semata-mata karena Anugerah-Nya (kayak keselamatan saja pake hanya ‘semata-mata’๐)
Lima tahun lalu, tepat akhir November 2012, ia pernah menangis di pelataran SD Lentera Harapan Kupang ketika mendapati dirinya tak lolos USM Teachers College UPH. Padahal sewaktu SMA ia paling bangga membawa jilidan buku bersampul UPH dan bilang ke kawan-kawannya kakaknya kuliah di kampus keren di Jakarta, begitu ia mengumbar๐. Ia juga bilang akan mengikuti juga jejak kakaknya berkuliah di UPH.
Bulan November waktu itu, USM TC UPH yang diadakan di SD Lentera Harapan di Bonipoi, di mana saya pun menjadi salah satu pengawas tapi di ruangan lain sementara yang mengawas di ruangannya adalah dua kawan guru dari SMP, Pak Hikmah dan Ka’Uthe, pikirnya karena kakaknya sendiri pengawas USM dan pengawas ruangannya sendiri adalah kawan kakaknya maka ia bakalan lolos.
Nyatanya, sore ketika daftar peserta USM yang lolos ditempelkan, tak ada namanya di sana, malahan satu sahabat dekatnya yang sedari kemarin bersama-sama hingga sore menjelang pengumuman mereka masih seranjang beristirahat siang terpampang namanya urutan satu yang berarti nilainyalah yang paling tinggi di antara semua peserta. Meledaklah tangis tanpa suaranya tak peduli berapa pasang mata sedang melihatnya kala itu๐.
Melihat mukanya waktu itu saya ikut trenyuh. Betapa ia mendamba-damba masuk UPH namun pengumuman sore itu seakan meluluhlantakkan mimpinya. Rasanya sore itu kami meninggalkan pelataran SD Lentera di Bonipoi dengan pahit. Sepanjang jalan ia ngambek. Tak mau dihibur dengan apapun. Bahkan juga tak mau berkabar pada siapapun yang mengiriminya SMS.
Kepadanya saya hanya punya satu cerita. Ketika di kelas 2 SMA dan ikut olimpiade kimia di tingkat provinsi. Berhari-hari saya serius belajar juga berpuasa (saya lupa dari mana saya belajar teori puasa) biar kalau bisa saya lolos mewakili provinsi demi bisa menginjakkan kaki di ibukota Jakarta.
Masih jelas betul saat itu bulan April dan ada perayaan paskah di gereja. Orang-orang ramai mengikuti berbagai macam perlombaan di halaman gereja. Ada cerdas-cermat, cepat-tepat, vokal grup, paduan suara, pertandingan voli, dan entah apa lagi. Sementara banyak orang tua muda berlarian ke sana ke mari antara mengurusi pekerjaan rumahnya juga menyempatkan diri terlibat dalam perayaan tahunan itu walau hanya sebagai penonton pinggir lapangan, saya malah sibuk menggeser meja dan kursi ruang tamu dekat jendela dan serius belajar di sana sambil sesekali melongokkan kepala ke luar melihat orang-orang yang saling meneriaki satu sama lain untuk sama-sama berangkat ke gereja.
Karena bertepatan dengan perayaan paskah dan sekolah libur, saya sudah dari pagi-pagi jam 9-an belajar hingga sore hari. Waktu itu sisa-sisa musim hujan masih terlihat. Pepohonan di sekitar rumah masih tampak hijau. Adakalanya saya membawa buku dan belajar di bawah pohon di depan rumah. Beberapa tetangga yang lewat bertanya kenapa saya tak ikut menonton kemudian mengajak. Pada mereka, saya acungkan saja buku-buku di tangan. “Tidak, saya ada lomba usai liburan paskah ini.” Maka berlalulah mereka. Demikian itu terjadi beberapa kali setiap tetangga yang berbeda lewat di depan rumah.
Sampai ketika liburan paskah usai dan beberapa hari kemudian kami dipanggil mendadak untuk segera bersiap menuju SMAN 1 Kupang di Oebobo yang waktu itu di mata saya top sekali๐๐ . Dengan bemo yang dicarter, saya dan seorang kawan lain yang lolos di matematika mewakili kabupaten Kupang didampingi guru fisika kami langsung menuju SMAN 1. Tiba di sana, ternyata tes sudah dimulai. Kami masuk di satu ruangan yang mana dari daftar hadir yang ditandatangani diketahui pesertanya datang dari berbagai kabupaten di NTT. Dengan napas yang terengah dan merasa asing dengan ruang tes karena terlambat, kami menerima lembaran soal dan mengerjakan. Sambil mengerjakan saya terus mendengungkan doa, bagaimanapun saya mesti lulus biar bisa mewakili NTT menginjakkan kaki di kota Jakarta.
Selesai mengerjakan serangkaian tes yang ternyata di luar ekspektasi itu, kami pun langsung pulang. Di rumah saya masih tetap bersungguh-sungguh berdoa kalau-kalau Tuhan bermurah hati meloloskan saya mewakili propinsi.
Seminggu berikutnya atau lebih, pada saat istirahat, sang guru fisika memanggil kami ke kantornya. Kami diberitahu terkait hasil tes di SMAN 1. Katanya tak ada satu pun di antara kami yang lolos di tingkat propinsi. Saat itu saya menerima kabar itu biasa-biasa saja. Tapi di rumah, saya menangis selama dua hari. Dunia saya seakan runtuh. Pikir saya, kiamat adalah sudah di hari itu.
Beberapa bulan kemudian, ada kabar pembukaan tes masuk UPH. Saya mencoba ikut. Melewati berbagai rintangan ini itu, akhirnya dikabarkan saya lolos. Bersiap berangkat bulan Juli ke Karawaci, Tangerang. Perasaan senang saya waktu itu meluap-luap. Akhirnya saya akan menginjak kota lain itu, mau Jakarta mau Tangerang intinya di sana mereka satu.
Demikianlah seiring berjalannya waktu, pelan-pelan sedikit tersingkap kenapa sebelumnya saya tak lolos olimpiade kimia mewakili provinsi. Andai saja saya lolos waktu itu mungkin memang saya jadi pergi dan pulang dengan sombong luar biasa dan kalau jalan ke mana-mana saya hanya akan membusung dan memukul dada merasa diri paling hebat seantero jagat raya lalu lupa belajar lanjut lalu lupa diri lalu lupa ingatan lalu lupa mandi lalu lupa makan minum lalu lupa gosok gigi lalu lupa tidur lalu lupa be’ol lalu lupa bernapas lalu lupa mati lalu lupa segala hingga bisa jadi untuk mencicipi bangku kuliah saja tak sempat sebab silau hidup aku kamu kita berdua pemilik dunia ini plus orok kurus kamomos, yang lain itu hanya dengung lalat lewat๐.
Terkait masalah waktu, kalau misalnya saya lolos saat itu, bisa jadi saya pergi, tapi paling hanya beberapa hari menghirup atmosfer kota lain itu kemudian pulang dan mungkin saja terjadi seperti yang di atas๐๐. Sementara yang kemudian terjadi adalah saya jadi menginjakkan kaki di sana, bukan hanya pergi sebentar mengikuti tes beberapa hari lalu kembali dan mengumumkannya dan mengharap semua orang mengeluk-elukan saya di atas keledai sambil menghamparkan daun palem sepanjang jalan, melainkan sampai ikut mencicipi suka-dukanya selama empat tahun dan apa yang didapat melampaui ekspektasi awal (kalau bukan lewat empat tahun itu, saat ini pun saya tak mungkin menulis di blog ini๐๐).
Ia menyimak memang cerita itu. Tapi tak tahulah ia menyimpannya baik-baik ataukah hanya menganggapnya angin lalu.
Saya tekankan lagi, “Sebagaimana maksud baik terjadi padaku, mungkin juga kelak itu akan terjadi padamu.”
Tentu dalam dialeg Kupang tak persis bahasanya seperti itu. Tapi intinya begitulah kira-kira. Kita tak tahu ada maksud apa di balik yang terjadi sekarang.
Ternyata betul. Selama ia kuliah di Kupang, meski ia adik, saya justru banyak belajar darinya. Ada banyak hal. Tapi hanya satu contoh yang akan saya ceritakan sedikit di sini.
Pada bulan Desember kemarin, ia mengajak saya mengisi VG di gereja di kampung. Saya keberatan awalnya. Tapi ia kelihatan mau sekali dan bilang kalau saja ia bisa main gitar ia akan tampil walau sendiri. Melihat kerindunnya saya pun mengiyakan. Kami berlatih beberapa hari sebelum tampil. Di hari H sebelum tampil, saya bilang saya grogi dan agak gugup mengingat di gereja itu banyak gitaris yang jauh lebih hebat. Ia langsung dengan kalimat tegas menyanggah saya. Kalimatnya cukup menyentak. Dalam hati saya malu sendiri๐๐.
“Kalau su siap hati menyanyi untuk Tuhan tu, kenapa mesti gugup?”
Sumpah. Saya seperti seorang remaja yang baru belajar mengenal diri๐ .
Kalimat yang masih terngiang-ngiang di telinga saya sampai hari ini. Menjadi pengingat untuk bukan hanya tentang menyanyi di gereja tentu. “Toh, apa lagi yang masih kau takutkan ketika Ia ada dalammu?”
Yah, mungkin itu salah satu alasan ia tetap ditaruh Tuhan di sini. Dan hari ini, ia telah menyelesaikan pertandingan kuliah S1-nya dengan baik. Memang di depan sana, masih ada lagi jalan baru yang mesti ia tempuh. Tapi, bukankah untuk tapak ini, bolehlah saya bangkit berdiri, memberi tepuk tangan, menjabat erat tangannya, merangkul manis pundaknya, serta menunduk syukur kepada Tuhan yang kusembah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatanku? ย Biarlah dengan tunduk penuh hormat ini kembali kami diingatkan, bukan kepada siapa-siapa atau apapun kami berkata-kata dan bergerak, melainkan semuanya dikembalikan kepada Kau saja. Benar, hanya Kau๐๐๐๐๐.